Jangan lupa unlock daily achievement-mu!

“Kenapa ga nulis pengalaman hari ini aja, Mbak? Seru tau,” kata temanku barusan waktu aku panik, teringat bahwa aku belum submit untuk #31HariMenulis karena kehebohan hari ini. Aku tak tahu sih serunya dimana. Tapi kurasa pengalaman sederhanaku hari ini perlu aku kenang, untuk mengingatkan diriku sendiri ketika aku panik (elah panik mulu) dan ketakutan di masa yang akan datang: just be truthful, overcome your fears, do the best you can.

Intinya, topik hari ini adalah pencapaian yang mungkin terlihat sederhana tapi rasanya sungguh melegakan, karena aku sudah berusaha semaksimal yang aku bisa. Jangan diremehkan, hal-hal sederhana seperti ini nyatanya empowering, lho.

Seperti yang pernah aku sebutkan di tulisan sebelumnya, saat ini aku sedang mengambil program master di sebuah kota yang konon ramah dan relijius. Karena pandemi, tentu saja kuliahku dilaksanakan lewat metode jarak jauh, kebanyakan melalui google meet. Hari ini jadwalku adalah kuliah umum dengan dosen tamu pukul 16:00. Malamnya pada pukul 19:00, aku harus mempresentasikan paper-ku dan melakukan sesi tanya jawab dengan teman-teman sekelas. Terakhir, pukul 21:00, kami dijadwalkan untuk menyelesaikan quiz yang merupakan komponen penilaian penting.

Lalu, apa masalahnya?

Banyak.

Pertama, dosenku adalah dosen legendaris. Beliau terkenal sebagai seorang dosen yang amat tegas, disiplin, dan no-nonsense. Beliau adalah dosen yang sangat ditakuti dihormati. Beliau juga orang yang sangat fair dan memacu mahasiswanya untuk selalu bekerja keras. Mahasiswa beliau banyak yang stress berat menghadapi beban tugas dan komentar-komentar beliau, tetapi juga selalu merasa mendapat banyak ilmu dan bahagia sekali rasanya setiap beliau menutup kelas dan memuji kerja keras kami.

Nah, beliau sudah mewanti-wanti, apapun yang terjadi, kami harus ikut kuliah tamu karena tamu tersebut penting dan sudah meluangkan waktu untuk kami. Selain itu, presentasiku adalah presentasi susulan. Presentasiku harusnya dilaksanakan pada hari terakhir kami masuk kuliah, sebelum akhirnya kami dirumahkan karena pandemi. Pada hari itu, aku sakit batuk yang sudah berlangsung berhari-hari. Cemas dengan potensi penyebaran penyakit, mahasiswa yang sakit dihimbau untuk tidak masuk. Jadilah aku dijadwalkan menyusul presentasi di hari terakhir perkuliahan untuk kelas tersebut… yang adalah hari ini.

Masalah kedua, aku tinggal di perbatasan Depok dan Bogor. Kalau aku boleh menggambarkan dengan singkat, tempat tinggalku ini adalah the city of angel. Angel-nya dalam Bahasa Jawa, tapi.

Daerahku tinggal dikenal sebagai salah satu daerah dengan intensitas badai petir tertinggi di dunia. Selain itu, salah satu grid listrik penting di Pulau Jawa ada di daerahku (aku tidak mengerti secara teknis, tolong di-google saja). Alhasil, tempatku sering sekali mati lampu. Kalau sudah badai dan mati lampu, provider sesakti apapun bakal hilang sinyal deh pokoknya.

Sialnya, the city of angel memutuskan bahwa hari ini (Senin, 11 Mei) adalah hari yang paling oke untuk badai dan mati lampu, 15 menit sebelum kuliah tamu dimulai. Tentu saja panic attack adalah respon pertamaku. Setelah bergulat dengan sesak nafas dan paralysis seakan aku sedang di ambang hidup dan mati… aku memutuskan untuk menghubungi ibunya. Entah darimana keberanian itu datang. Sepele? Tidak. Jika ini adalah aku setahun yang lalu, yang aku lakukan adalah masuk ke selimut, gemetaran… berjam-jam… dan tidak mau mengecek handphone sampai satu minggu kemudian. Iya, segitunya. Alasannya mungkin boleh dicek di postingan pertamaku untuk #31HariMenulis. Tapi terserah kalau mau nge-judge aku malas, gampang menyerah, dan tidak bertanggungjawab. Aku sudah cukup kebal.

Lanjut. Aku memutuskan menghubungi beliau dan aku ceritakan bagaimana kondisiku saat ini. Kubilang, aku mungkin akan telat atau absen pada kuliah tamu karena infrastruktur yang bermasalah di daerahku. Kubilang, aku akan mengusahakan hadir di saat presentasi dan kuis dengan mencari tempat yang menyediakan listrik dan wi-fi, nanti lepas berbuka puasa. Setelah akhirnya aku berhasil mendapatkan sinyal untuk bergabung ke kuliah tamu lewat gawai (harus di satu titik di ruang tamu dan ga boleh gerak huhu), aku kembali menghubungi dosenku dan memberi tahu bahwa aku sudah ikut hadir dalam perkuliahan. Ibunya hanya membalas dengan emoji acungan jempol, tapi aku berasa legaaa sekali.

Tapi, masalah tidak berhenti sampai situ dong tentunya. Kuliah tamu selesai tepat saat gawaiku kehabisan baterai. Sementara, aku tidak bisa koneksi dengan laptop karena modemku tidak menunjukkan secuil sinyalpun. Jadi, aku memutuskan untuk kembali ke rencana awal. Menerjang badai demi mencari listrik dan sinyal selepas berbuka puasa.

Berangkatlah aku dengan Zaki, teman serumah/supir pribadiku. Tujuan akhir adalah kampusku yang jaraknya sekitar 17 kilometer dari rumah, sembari mencari kalau-kalau ada tempat yang lebih dekat. Aku naik turun mobil sepanjang jalan dan menerabas hujan untuk mengecek apakah ada coffeeshop atau warung yang buka di tengah kondisi PSBB begini. Nyatanya, tempat terdekat yang kami temukan adalah sebuah tempat ngopi beken jauh di Margonda (yang untungnya sangat sepi, jadi tidak perlu terlalu khawatir memikirkan wabah, mudah-mudahan). Itu pun hanya buka sampai pukul 21:00, kalau tidak mereka akan didatangi Satpol PP. Namun, karena sudah waktunya kelas dan aku harus presentasi, aku iyakan saja. Perkara nantinya bagaimana, belakangan.

Karena aku presenter susulan, jadi aku harus menunggu tiga temanku yang lain mempresentasikan papernya terlebih dahulu. Presentasi dengan Bu Dosen terkenal horor. Karena aku sudah mengambil mata kelas beliau di semester sebelumnya, aku sudah tau lah rasanya. Presentasi pertamaku di kelas beliau, aku gemetaran dan hanya berani melihat power point-ku sendiri di depan kelas. Teman-teman sekelas sampai khawatir kalau-kalau aku pingsan, karena mukaku sudah sangat pucat. (Oh ya, hari itu juga pencapaian buatku, lho. Awalnya aku hampir bolos saking takutnya). Walaupun begitu, presentasi dengan beliau jelas sangat fair. Beliau bisa melihat jika kita mengerjakan paper dan presentasi kita dengan sungguh-sungguh.

Kembali ke coffee shop di Margonda. Detik-detik berlalu dan rasa panik makin memuncak. Waktu sudah menunjukkan pukul 20:30 dan kami masih bergulat dengan pertanyaan untuk tiga presenter sebelumnya. Dari sini, aku belajar bahwa kadang berteman dengan rasa panik itu ada baiknya juga. Entah dari mana, tiba-tiba muncul keberanian untuk menyela ketika aku melihat ada jeda. Tiba-tiba aku sudah menyalakan mic dan jujur pada Bu Dosen, bahwasanya aku harus segera presentasi sebelum tempat aku mencari sinyal dan listrik tutup.

Aku kaget dengan diriku sendiri, tapi lebih kaget bahwa Bu Dosen hanya tertawa dan mengomentari nasib sialku. Mungkin karena tadi sore aku sudah menjelaskan keadaanku dan tetap berusaha muncul di kedua sesi kelas. Beliau bertanya bagaimana dengan kuis, apakah aku kira-kira bisa mengejar. Aku bilang, akan aku kerjakan walaupun harus di mobil.

Tidak mandi, tidak sisiran, tanpa make up… mulailah aku presentasi seperti dikejar anjing, takut kalau nanti mas-nya tiba-tiba datang dan mengusir. Kan ga lucu kalau itu masuk dalam konferensi video ☹

Selama sesi presentasiku, aku mencoba menjawab semua pertanyaan yang aku tahu jawabannya.

Aku bilang terima kasih ketika teman-teman memberi input. Cukup itu, tidak perlu ngeminteri.

Aku bilang aku tidak tahu ketika aku memang tidak tahu. Cukup itu, ga perlu sepik.

Buat aku hal-hal ini merupakan pencapaian juga, karena aku merasa konsisten dengan komitmen yang aku tulis di artikelku sebelumnya.

Lalu apakah sang dosen marah? Tidak. Bu Dosen malah membantu menjawab dan sungguh melegakan sekali rasanya untuk jujur pada diri sendiri dan orang lain.

Tepat saat sesi kelas akan ditutup dan kuis akan dimulai, mas-mas kopisop datang untuk mengingatkan. Aku tanya, apa boleh aku numpang duduk di tangga parkiran selama 15 menit untuk ujian? Kata mas-nya, tidak apa-apa. Yang penting ruangan pelanggan sudah ditutup dan lampu sudah dimatikan. Jadilah aku mengerjakan kuis-ku di pinggir jalan.

Jawaban kuis-ku sudah dikirimkan pukul 21:17. Rasanya? Wah lega luar biasa! Akhirnya hariku yang panjang selesai. (Bonus: nongkrong di kopisop pertama kalinya dalam hampir dua bulan).

Nah, dari tadi aku ngomongin pencapaian. Apa sih pencapaiannya?

Sebetulnya ini sama saja dengan petualanganku sehari-sehari selama lima tahun menjadi wartawan. Tapi, seperti yang aku bilang di atas, keberanian-keberanian kecil seperti mengontak Bu Dosen, berusaha menerjang seluruh rintangan, atau hal sesederhana presentasi dan berkomunikasi… bukanlah sesuatu yang bisa aku lakukan setahun atau dua tahun lalu. Yang jelas, ketika hari selesai, aku merasakan suatu rasa lega dan sebuah pencapaian yang sungguh-sungguh luar biasa. Aku melalui hari itu dengan melawan ketakutan-ketakutanku, berusaha sebaik yang kubisa, jujur, dan tidak menyerah begitu saja.

Bingung mengapa ini tampak sangat spesial bagiku? Tidak apa-apa. Akan aku ceritakan mengapa di lain waktu. Mungkin ada sebagian dari kalian yang akan mengerti, mungkin tidak. Tidak apa-apa. Yang jelas, aku merasa perasaan menyesal karena gagal saat belum berusaha maksimal atau bahkan belum berusaha, jauh lebih nyesek daripada gagal saat sudah berusaha sebaik yang aku bisa.

Terakhir, aku ingin menegaskan, aku bukan memerangi ketakutanku hanya lewat positive thinking, berdoa, dan berusaha sekuat tenaga. Ketiganya tetap penting. Namun, ada hal-hal yang, karena suatu kondisi, aku lakukan untuk memperbaiki kesehatan mentalku dan ini memakan proses panjang. Tapi ini cerita di lain waktu.

Saat ini, aku hanya ingin sekadar berbagi sedikit di sini apa yang pernah psikologku minta aku lakukan beberapa tahun lalu:

“Catat semua pencapaianmu,” ujarnya.

“Saya orang yang biasa-biasa saja, Mbak,” kataku.

“Pencapaian itu bukan sekadar tentang piagam dan piala, lho. Ketika kamu bisa menyelesaikan sesuatu yang sulit kamu lakukan, bahkan hal sesederhana makan dan mengobrol dengan orang lain, adalah sebuah pencapaian,” jawabnya.

Aku tidak jago membuat penutup. Tapi, pesanku, jangan remehkan pencapaianmu sehari-hari, guys. Mungkin suatu hari, kamu perlu mengulang kembali dan mengingat rasanya hari ini. Unlock your daily achievement no matter how small it seems!

N.B.: Terima kasih, Bu Dosen! Walaupun mungkin saya sering mengeluh, kelas Anda sungguh sangat mencerahkan, padat ilmu, dan sangat rewarding. Di luar ilmu yang saya peroleh di kelas, terima kasih telah mendidik saya untuk jujur, disiplin, dan berani 😊

have-a-great-day-sticker-on-brown-surface-1201140


Comments

Leave a comment