Menulis dengan kata sulit, haruskah?

Ketika aku pertama kali menjadi wartawan di sebuah koran lokal berbahasa Inggris, temanku pernah mengatakan bagaimana ia mengagumi salah satu petinggi di kantor kami. Sebut saja namanya Pak A. Kemampuan menulis Pak A sangatlah luar biasa dan begitu kaya dengan perbendaharaan kata. Saking jagonya, ia bisa membuat para editor bule di kantor kami kebingungan dan harus mengecek arti dari diksi-diksi pilihannya di kamus Merriam Webster. Dengan ketenarannya di dunia jurnalistik dan di bidang-bidang lain yang ia seriusi, tidak butuh waktu lama bagi kami – anak-anak muda yang baru menetas ini – untuk menjadikannya panutan.

Rasa-rasanya, sejak saat itu kami jadi saling berlomba-lomba memasukkan kata-kata yang sophisticated ke dalam tulisan kami. Kalau bisa menggunakan kata devour, kenapa harus pakai kata eat? Kalau bisa pakai kata unequivocal, kenapa harus pakai kata clear? Kata-kata sulit adalah kunci untuk menyombongkan kepintaran kami.

Sayangnya, tidak semua orang punya kemampuan mengolah kata setingkat Pak A, yang memang besar di luar negeri dan tak ubahnya seperti seorang native speaker. Ujung-ujungnya, aku lebih sering kena marah mentor dan editor karena tidak menggunakan kata yang sesuai konteks, belum lagi dihadapkan pada kelemahanku dalam menyusun kalimat yang sesuai syntax. Aku menulis dalam Bahasa Inggris, dan Bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu untukku. Aku cuma orang biasa yang belajar Bahasa Inggris dari novel dan video games. Aku bahkan tidak tahu cara membaca suatu kata karena lebih sering belajar secara pasif. Mungkin saja kalau aku berlatih aku bisa menjadi seperti Pak A. Mungkin. Tapi itu membutuhkan waktu panjang tentunya.

Ambisiku untuk bisa menjadi seperti Pak A surut ketika suatu hari, kantor kami menerbitkan edisi spesial yang memuat surat-surat dan pendapat pembaca setia koran kami. Edisi tersebut diterbitkan untuk merayakan ulang tahun kantor kami yang entah ke berapa. Dalam edisi itu, pembaca mengungkapkan apa yang mereka sukai dari terbitan kami dan siapa penulis favorit mereka. Yang membuatku kaget, jawabannya bukanlah Pak A seperti yang kamu duga selama ini. Pak A punya niche market-nya sendiri, tapi Pak B dan Pak C – dan beberapa penulis lain – menang telak ketika sudah berurusan dengan populasi yang besar.

Pak B bisa dikatakan adalah orang yang paling dihormati dan dituakan di kantor kami, sekaligus orang yang paling humble. Bahkan Pak A selalu menganggap Pak B adalah mentor dan panutannya. Sama dengan Pak A, Pak B besar di luar negeri. Tapi gaya bahasa mereka amat jauh berbeda. Pak B kerap menggunakan kata yang sangat sederhana. Isu yang dibahas? Kompleks. Tapi alurnya begitu mengalir dan pembaca tidak pernah berakhir kebingungan. Kata-katanya menohok saat perlu menohok, adem ketika perlu menenangkan. Tulisannya dari awal sampai akhir selalu memikat pembaca, dan yang terpenting, kami tidak perlu buka kampus di tengah jalan.

Bagaimana dengan Pak C? Pak C bisa dikatakan adalah badut kantor. Dia selalu bisa membuat orang tertawa. Suatu hari, aku ingat pernah duduk berdua dengan Pak C di ruangannya. Pak C sedang menyemangatiku, tapi pembicaraan kami beralih ke edisi suara pembaca yang tadi aku ceritakan. Kata Pak C, ternyata pembaca koran kami bodoh-bodoh, karena memilih orang bodoh sebagai penulis favorit mereka. “Padahal yang saya tulis itu-itu saja ga ada bobotnya. Harusnya mereka liat si A yang English gentleman, atau si D yang ratunya English tea,” katanya. Iya, aku tahu Pak C cuma merendah. Pak C ini ahlinya politik dalam negeri dan lama meliput di istana. Sulit bagi seorang jurnalis untuk bisa humble seperti Pak B. Tapi dari situ aku paham kenapa orang-orang suka kepada Pak C. Pak C is an everyman, a funny one at that, and everyone can relate to him.

Dari situ, aku mulai berpikir apa yang aku inginkan. Apakah aku ingin menulis tema yang ringan menjadi sangat kompleks, dan membuat bingung pembaca karena aku memang tidak punya keterampilannya? Apakah aku ingin bisa membuat pembaca mengerti tentang isu-isu yang sebenarnya sangat kompleks, dengan bahasa yang sangat ringan? Apakah aku ingin dekat dengan pembaca?

Kesimpulanku hanya satu: aku ingin tulisanku sampai ke pembaca.

Zaki, yang adalah teman serumah dan juga mantan teman sekantorku, berkata bahwa hingga hari ini dia masih lebih menyukai gaya tulisan Pak A.

Ya, tidak apa-apa.

Pak A bisa menceritakan pengalaman makan bakso enak di pinggir jalan dalam tulisannya yang seakan memiliki nuansa Michelin Star. Pak B bisa menyulap kompleksitas rivalitas antara negara-negara besar, suatu hal yang mungkin tidak menjadi ketertarikan semua orang, menjadi cerita pertengkaran antar tetangga yang semua orang bisa mengerti. Pak C hanya bercerita tentang apa yang dia lihat, alami, dan dengar, dalam bentuk kritik sosial yang dibalut bumbu humor.

Itu preferensi. Aku suka gaya tulisan Pak B dan Pak C. Menulis tidak harus menggunakan kata sulit, tapi itu tetaplah pilihan. Bukan berarti sesuatu yang sulit bagi satu orang, sulit bagi orang lainnya. Mungkin aku hanya ingin menjangkau khalayak yang lebih banyak. Mungkin yang aku inginkan hanya dimengerti dan bukan dianggap pintar, apalagi kalau memang aku belum punya cukup kemampuan untuk sampai ke sana.

Yang jelas, menurutku, tak ada gunanya aku menulis dengan kata-kata sulit tapi pembaca tidak mengerti apa maksudku. Yang penting, tulis aja dulu. Tulis sebisanya. Kalau melihat terlalu jauh, kapan mau mulai?

white-paper-with-note-669986

Photo by Bich Tran from Pexels

Comments

Leave a comment