Sebagai perempuan, usia 30 memerdekakanku

Umurku 31 sekarang. Dan aku masih hidup. Lebih hidup dari sebelumnya.

Menjelang akhir umur 20-an, aku diserang oleh satu permasalahan yang umum diderita oleh orang-orang seumurku, terutama para perempuan millennials di negara berkembang: quarter-life crisis.

Yang aku ingat, di penghujung usia 20 tahunku, aku menghabiskan hari-hariku dengan perasaan cemas mengenai apa pencapaianku dan apa yang mau kulakukan ke depannya. Aku merasa rendah, minim prestasi, dan belum lagi pertanyaan orang-orang di sekitarku yang kerap tidak membantu.

Jujur saja, sebagian orang-orang ini bahkan menurutku tidak relevan dalam hidupku. Dengan enteng mereka bertanya padaku, hanya sebagai bagian basa-basi, tanpa memedulikan dampak pertanyaan mereka yang mungkin bisa mempengaruhiku secara mental.

“Kapan menikah? Kamu sudah mau 30, lho.”

“Kapan punya anak? Kamu sudah mau 30, lho.”

“Kapan lanjut sekolah? Kamu sudah mau 30, lho.”

“Kapan cari kerja lagi? Kamu sudah mau 30, lho.”

“Kapan resign? Kalau kecapekan susah punya anak. Kamu sudah mau 30, lho.”

“Kapan berhijab? Kamu sudah mau 30, lho.”

Jadi sesungguhnya, apa yang diinginkan orang-orang terhadapku?

Aku tidak tahu ada masalah apa sebetulnya dengan 30 ini hingga dia dianggap kutukan bagi perempuan. Tapi sebagai perempuan, aku merasakan hidupku menjadi sangat dibatasi oleh waktu dan didikte oleh masyarakat. Masyarakat, tampaknya, memutuskan bahwa usia 30 tahun ini adalah hukuman mati dan akhir bagi perjalanan perempuan, tanpa peduli apa yang perempuan itu inginkan secara personal.

Telurmu sudah tak subur. Mukamu sudah mulai berkeriput. Kamu tak laku lagi. Di dunia asmara, banyak gadis muda yang lebih menarik darimu. Di dunia kerja, banyak tenaga kerja yang jauh lebih muda dan bersemangat, dengan segudang prestasi ala Generation Z. Settle the fuck down!

Mau tidak mau, ini membuat aku kebingungan dan ketakutan. Sebetulnya, ini salahku sendiri karena aku mudah terpengaruh dengan tuntutan masyarakat. Tapi sulit untuk masa bodo dengan pertanyaan-pertanyaan ini ketika aku lahir dan besar di tengah persilangan abad. Apa itu moderen? Apa itu konservatif?

Kalau kamu sudah nonton Kim Ji-Young: Born 1982, kamu pasti tahu apa maksudku. Di satu sisi, kamu didorong untuk bersekolah tinggi-tinggi. Selama kamu mengenyam bangku pendidikan, kamu jadi punya banyak mimpi. Dengan ijazah yang kamu pegang, kamu juga diharapkan bekerja dan menggerakkan roda perekonomian. Di sisi lain, kamu dituntut berlaku seperti apa yang masyarakat ingin kamu lakukan sebagai fungsi utamamu: berkeluarga dan bereproduksi.

Menjelang usia 28, aku memutuskan mundur dari pekerjaanku, fokus menjadi penulis lepas, dan mencari tahu apa yang sebetulnya ingin aku lakukan. Sayangnya, sisa akhir usia 20-an kuhabiskan untuk merasa cemas. Di satu sisi, aku punya list yang ingin aku lakukan sebelum usiaku 30. Aku ingin jadi wartawan andal. Aku ingin bisa pergi mengelilingi Indonesia dan mengumpulkan berbagai macam cerita rakyat, untuk kubukukan. Aku ingin ke Bosnia, negara yang sedari kecil ingin aku kunjungi. Aku ingin sekolah lagi. Ingin sekolah lagi inilah yang paling berdentum kencang.

Di sisi lain, aku bergelut dalam kecemasan bahwa jika aku menghabiskan waktuku mengejar apa-apa  yang aku inginkan, aku tidak bisa memenuhi peran dan kodrat yang konon sudah digariskan kepadaku. Apakah di usia 30, aku harus menjadi orang lain? Apakah aku tidak bisa lagi bermain game, membaca komik, hal-hal lain yang kerap membuatku terlihat kekanak-kanakan?

Habislah hari-hariku dalam gelap dan sesak. Meraba-raba mau kemana aku melangkah. Menghitung hari menjelang perayaan-perayaan ulang tahun-ku yang sesungguhnya aku ingin lupakan saja. Tidak ada juga hal dalam list-ku yang aku kerjakan.  Aku kehilangan semangat untuk melakukan apa-apa yang ingin aku lakukan. Aku takut bahwa ketika angka dua itu bergeser menjadi angka tiga aku cuma akan menjadi onggokan daging, kulit, dan tulang yang tak berguna.

Lalu terjadilah. Ulang tahunku yang ke-30. Lalu ke-31.  Dan mau berapa kalipun ku kerjapkan mata, dunia masih berputar dengan cara yang sama.

Dan aku ingin tertawa.

Bodohnya aku selama ini. Age is just a number nyatanya bukan petuah omong kosong belaka.

Aku melihat sekelilingku dan begitu banyak wanita yang bahkan jauh lebih tua dariku, hidup hebat dengan sebodo amat. Sebodo amat bukan berarti tidak bertanggungjawab. Sebodo amat itu artinya tau apa yang ingin mereka kejar dan menjalaninya dengan bahagia. Menjadi wanita karir. Menjadi ibu rumah tangga yang membesarkan anak-anak yang hebat. Menjadi wanita lajang. Menjadi bukan siapa-siapa dan tetap bahagia.

Di usiaku yang ke 31 ini, nyatanya aku tidak lagi takut dan bersedih disebut perempuan tua. Beban yang tadinya begitu berat di pundak, tali imajiner yang tadinya begitu kuat mencekik leherku, hilang begitu saja. Persetan, masyarakat, aku sudah melewati batasan usiamu dan aku baik-baik saja.

Tapi mungkin bukan salah masyarakat. Ketakutan dan kecemasan itu yang melumpuhkanku. Aku sendiri yang melumpuhkanku.

Yang aku rasakan sekarang, kakiku amat ringan. Aku mengambil sekolah lagi. Aku mulai bisa fokus melakukan hal-hal yang aku suka, menulis contohnya. Aku mulai mencintai kerut-kerut yang muncul di wajahku. Dan aku merasa nyaman menjadi diriku sendiri. Aku merasa nyaman mengatakan apa yang ingin katakan. Nyaman melakukan yang aku ingin lakukan (termasuk pura-pura tidak dengar saat ditanya “kapan?”).

Aku bersyukur aku bertambah tua. Aku belum pernah merasa sehidup ini.

Umur 30, nyatanya, memerdekakanku.

Ketika aku kecil, aku punya banyak impian. Aku mau jadi penyihir (tapi rupanya kalau di Indonesia mesti belajar santet). Aku mau jadi wartawan perang (tapi rupanya perangku hanya berakhir dengan rebutan naruh recorder paling dekat ke bibir narsum waktu doorstop). Aku mau jadi peneliti (masih diupayakan). Seiring aku bertambah besar, semakin banyak keinginan yang ingin kukejar.

Mungkin hidupku berasa lebih ringan karena aku belajar bahwa aku harus bisa menerima bahwa tidak semua keinginanku bisa dicapai. Tapi bukan berarti aku harus berhenti berkembang.

Hai, Anggi.

Jika kamu masih hidup dan tengah pusing dengan ulang tahun ke-40, ke-50, dan ke-60… tolong tengok lagi tulisan ini. Toh hidup akan berakhir juga. Lakukan saja semua sebaik-baik yang kamu bisa dan sesuai porsimu. Kejarlah hal yang kamu inginkan dan kamu suka. Jangan lagi kau jerat dirimu dengan bayangan usia.

 

Catatan: Terlepas dari judul dan konteksnya, aku tahu laki-laki pun bisa merasakan hal yang sama.

 


Comments

One response to “Sebagai perempuan, usia 30 memerdekakanku”

  1. Khresna Widiananda Avatar
    Khresna Widiananda

    Damn, it hits me hard

    Like

Leave a comment