Permisi, aku mau marah-marah

Aku merasa tulisan ini akan menunjukkan bahwa aku orang yang sangat petty dan pendendam. Tapi engga masalah. Aku tidak mau main jaim-jaiman di sini. Aku tidak bisa pura-pura positif selamanya. Di dalam diriku, ada energi negatif yang juga harus aku salurkan. Aku sudah bilang kan, bahwa blogku ini sebenarnya untuk terapi diriku sendiri?

Aku punya masalah dengan emosi. Karena sesuatu hal, aku tidak bisa menyalurkan emosiku dengan baik dan cenderung memendam. Kadang-kadang, aku tidak sadar bahwa aku marah hingga berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kemudian.

“Lawan, Anggi. Lawan,” kata teman-teman dekatku. “Bela dirimu, nanti kamu dikira lemah.”

Masalahnya, kadang sulit buat aku untuk marah. Aku tidak tahu monster seperti apa yang bisa muncul dari diriku ketika aku marah. Makanya, kadang-kadang hal-hal yang membuat aku emosi cenderung aku diamkan atau kutimpali dengan candaan.

Tapi aku menyadari betul bahwa itu tidak sehat untuk kondisi mentalku. “Kamu sebetulnya punya kontrol diri yang sangat baik. Sangat amat baik. Tapi ini tidak selalu bagus, kamu jadi sulit menyalurkan emosi dan kamu memendam,” kata seorang psikolog yang aku temui.

Jadi, intinya, aku membuat tulisan ini untuk marah balik. Aku akan menggunakan hak jawabku, walaupun aku tahu orang-orang yang membuatku marah itu mungkin tidak akan membaca. Kalau ada yang membaca dan ingin konfrontasi, monggo. Aku ingin mengeluarkan rasa sakit hati yang walaupun sepele, nyatanya bagai duri dalam daging. Aku ingin menjawab ejekan-ejekan yang dulu kuanggap enteng, tapi kubiarkan jadi borok menahun. Aku ingin membela diriku sendiri. Ikhlas itu ilmu yang paling berat, katanya. Makanya sebelum aku ikhlaskan, aku ingin mengeluarkan dan mengucapkan selamat tinggal pada penyakit hati ini. Tidak apa-apa kalau kalian bilang aku tidak mau disalahkan. Paling tidak, biarkan aku merasa lega dari sudut pandangku sendiri.

Makanya, kalau ada yang mampir di sini dan ingin menghindari postingan yang negatif, tolong di-skip dulu ya. Apalagi ini bulan puasa, salah-salah jadi berghibah.

In any way, I kinda need a “me” time, but on stage.

Catatan: Tulisan ini sebetulnya terinspirasi dari forum reddit r/UnsentLetters. Untuk menghindari pembunuhan karakter, aku akan menghindari menyebutkan nama dan jenis kelamin. Karena aku percaya, hal-hal ini bisa saja terjadi dengan tidak sengaja, bisa saja aku salah paham, dan semua orang – termasuk aku — punya sisi baik dan buruknya.

silver-iphone-6-987585

Photo by freestocks.org from Pexels

—-

(1)

B: Hihi, maklumin aja dia kan cewek mall. Cewek dugem. Doyan belanja. Liat aja tampilannya.

(Konteks: Kasak-kusuk teman-teman sekelas waktu kuliah, seusai aku presentasi untuk kelas metopen. Aku memutuskan untuk melakukan observasi mengenai kegiatan yang dilakukan orang-orang di mall di hari dan jam kerja).

A: Mohon maaf. Aku habis bermotor keliling Jogja, mencari obyek observasi di tengah hari yang sangat terik. Keringatku sudah membanjir dan aku berasa mau pingsan. Aku lihat ada mall kecil dan itu hari kerja. Asumsiku tidak banyak orang di sana, sehingga aku memutuskan untuk ngaso sembari mencari pendingin ruangan. Jadilah aku sekalian melakukan observasi di sana.

Hari-hari, aku ga kuat masuk mall. Terlalu banyak manusia dan aku pening. Aku juga pelit anaknya, ga doyan belanja. Semua bajuku lungsuran kakakku. Uangku habis untuk ngopi, beli komik, dan beli buku. Oh iya, aku pernah pingsan waktu nonton konser akustik, karena gelap dan terlalu banyak orang. Kebayang ga sih aku pergi ke tempat dugem?

Terus, apa juga yang salah kalau ada perempuan yang suka shopping dan dugem? Apa yang salah dengan tampilanku yang tiap hari hanya memakai kaos, celana jeans, dan sandal hotel?

(2)

C: Lo ga cocok jadi wartawan. Lo kan dandan, lo harusnya duduk di sana sama mereka (menunjuk tim marketing).

(Konteks: Hari pertama masuk kerja, pelatihan di kelas dengan sesama calon reporter dan marketing. Trainer di depan kelas berkata, santai saja, walaupun tim marketing lebih good looking dan lebih banyak duit dibanding kami para calon reporter, kami lah yang punya otaknya. Sampai hari ini, aku selalu merasa tidak nyaman mengingat kata-kata ini).

A: Aku waktu itu udah mau nangis, lho. Hehe. Itu hari pertamaku bekerja. Ibu dan kakakku memaksaku untuk berdandan, pakai kemeja, dan pakai sepatu hak. Kubilang, rasanya hari-hari liputan nanti aku tidak butuh seperti ini, deh. Namun, kata mereka, “Hormatilah tempat kerjamu, kesan pertama itu penting”. Mereka antusias sekali melihat aku mendapatkan pekerjaan pertamaku. Aku pun ikut senang. Sampai kantor, aku malah menemukan negative vibe dari kamu. Orang yang baru aku kenal tidak sampai lima menit. Aku kurang suka bermake-up karena aku merasa risih dan mukaku jadi kaku. Aku baru mulai pakai lipstick di usia 27 tahun karena mukaku pucat dan sering ditanyai, “Sakit, Mbak?” sama orang asing di jalan. Tapi, apa sih yang salah kalau ada orang bermakeup dan ingin cantik buat dirinya sendiri? Orang sudah memilih – atau tidak bisa memilih – profesinya masing-masing. Kalau dia tidak bisa menulis atau liputan sejago kamu, dia bisa jadi lebih handal di bidang yang kamu tak terlalu terampil. Bisa jadi dia hapal RPUL, RPAL, buku pintar, jago algoritma. Atau jago cari uang. Atau memasak. Main tenis. Dan lain sebagainya. Tidak ada yang salah selama itu tidak merugikan orang lain. Seriously. With one blow, you offended me, my family, and a lot of people out there. You should be ashamed of yourself.

(3)

C: Ayo kita main tebak-tebakan. Kita tebakan berdasarkan meja kerja, kamar mereka kaya gimana.

A: Boleh.

C: Oke. Menurut gue si itu kamarnya pasti rapih banget soalnya barang-barangnya tertata rapi terus ada tempat-tempatnya gitu.

A: Hmmm… kalau si ini, menurut gue kamarnya berantakan. Soalnya di mejanya koran dan kertas bertebaran dan ga disusun rapi.

C: LO JUDGMENTAL BANGET ORANGNYA YA! DIA SERING CERITA SAMA GUE DIA KALAU TIAP MAU TIDUR MESTI NGERAPIHIN KAMAR DULU. DIA RAPI BANGET ORANGNYA!

A: Sigh. Kukira kita lagi main tebak-tebakan, kok jadi ngamuk dan ngatain orang gini sih karena aku milih meja temanmu sebagai target. Aku nyesel berbasa-basi menerima ajakanmu main mainan begini. Aku jadi inget pertemuan pertama kita juga, deh. Aku jadi bingung dibilang judgmental sama kamu. Aku udah berapa kali menerima keluhan dari teman-teman di lapangan gimana judgmental-nya kamu. Tapi aku memilih tidak memedulikannya karena aku tidak merasakan sendiri (padahal sudah). Sekarang, aku jadi merasa beneran bodoh.

(4)

C: Si A kan anaknya suka bragging.

A: Ini aku minta maaf sih kalau aku terlihat seperti itu. Aku sebenarnya sangat rendah diri. Aku kagum dengan kehebatan orang-orang di sekitarku. Aku jadi cenderung menyombong agar bisa masuk sebuah circle. Ini aku jelas salah. Aku minta maaf. Aku akan belajar lagi. Aku tidak bisa berhenti memikirkan ini hingga hari ini. Tapi kalau mau mengatakan ini di depan wajahku, aku tidak akan tersinggung, lho. Aku malah akan sangat berterimakasih.

(5)

D: A tuh anaknya kekanak-kanakan banget, ngeluh mulu. Mungkin karena pekerjaan pertama dia kali ya. Tapi gue itu kan juga capek ya tiap pulang kerja. Masak gue harus dengerin keluhan dia dulu? (disebarkan ke temen2 satu batch)

A: Sedih, jujur. Tiap kita pulang kerja dan aku mau siap-siap tidur, kamu pasti ngajak aku nongkrong dulu mengeluhkan si bos-mu yang begini dan begitu, narsummu yang begini dan begitu, betapa lelahnya kamu sama pekerjaan ini… Aku pikir kita temenan dan bisa curhat gentian. Aku berapa kali dipanggil bos besar karena underperformed. Aku ingin cerita ini tapi ga tau ke siapa. Karena kamu sering curhat ke aku, aku kira aku bisa curhat balik. Rupanya aku hanya boleh mendengarkan dan kasih solusi, ya?

(6)

E: “Lo kalau sama laki-laki kok genit dan caper dan nempel-nempel gitu, sih.” “Lo bawa-bawa boneka ke kantor, hati-hati dilihat orang. Entar lo dibilang bocah.” “Lo hobinya main terus, karaoke terus. Masih anak-anak banget, ya?” “Kok lo nonton sama Z ga ajak gue? At least have the courtesy to ask me!” “Lo ke liputan ke luar negeri ga bilang gue? Gue jadi repot mesti ngecover beat lo!” “Ih dia tuh males banget masa gue suruh liputan kesini ga mau!” (ujarmu di sebuah press room suatu institusi pemerintah, yang mana orang-orangnya tidak mengenalku), “Dia kan habis dimarahin editor sampai nangis. Gue liat sendiri. Mampus ga tuh?” (bergosip dengan rombongannya di kantor dan di luar kantor).

A: Oh dear, dear. Sebenarnya jawaban buat kamu udah sampai aku bikinin postingan sendiri, lho. Aku pernah diskusi sama salah seorang teman yang jadi korban kamu juga. Keberadaan kamu bisa bikin orang PTSD dan aku tahu kamu tidak peduli. Kamu bangga kalau orang takut sama kamu. Masalahnya, kami bukan takut sama kamu. Kami tidak nyaman dengan bagaimana kamu selalu ingin mendominasi dan mengatur hidup orang lain, seakan caramu itu yang paling benar. Kami tidak nyaman dengan cara kamu menggiring opini publik dan mengarahkan mereka untuk satu suara denganmu. Kami malas ribut, karena kami tahu kamu bukan tipikal orang yang mau mundur pun ketika kamu salah. Kamu siap membuat semuanya lebih ribet.

Aku minta maaf kalau aku terlihat lebih dekat dengan teman laki-laki. Mulutku nyablak dan aku takut melukai perasaan teman-teman perempuan. Aku sudah pernah mengalaminya dan akhirnya dibully. Aku masih mencoba berbenah, dan saat itu aku belum siap. Tapi aku rasa aku tidak perlu minta maaf ya, karena itu hakku mau berteman dengan siapa. Dan soal genit itu, sigh, kamu tahu kan bahwa mereka bahkan tidak suka perempuan?

Aku bingung sama kamu. Kamu seperti sosok yang tidak bisa memegang omonganmu sendiri. Di satu sisi, kamu tidak suka kalau aku ajak main. Tapi, kalau ada orang yang kamu suka ikut, kamu ngamuk-ngamuk. By the way, sebelum aku kenal kamu, aku sering dipanggil ansos. Aku takut berteman. Aku selalu menolak diajak main. Kalau aku sampai ikut kegiatan publik, pasti anak-anak heboh bilang aku “turun gunung”. Menyadari bahwa aku kini kerja di bidang yang membuatku harus melibatkan diri dengan banyak orang, aku mencoba berubah. Rupanya aku malah terlihat bocah. Aku salah langkah. Aku menyesal mencoba menjadi orang lain. But did I hurt you in any way that you had to treat me that way?

Selain itu, kamu bukan editorku. Kamu tidak berhak menyuruh aku pergi kesana kemari untuk liputan, apalagi di saat kerjaanku sendiri banyak di tangan. Kamu suruh aku berkunjung ke acara yang berlangsung berjam-jam hanya untuk berkenalan dengan narasumber-narasumber yang tidak bisa dikutip, padahal aku punya tiga artikel yang harus tayang besok. Aku tidak masalah dengan networking, tapi hari itu bukan waktunya. Asal kamu tahu, begitu aku dipindah untuk cover halaman yang sama denganmu, kamu meninggalkan beat-beat yang sesuai dengan pembagian tugas harusnya masih kamu yang pegang. Aku juga yang ambil. Tapi aku ga semena-mena mengumumkan di depan teman-teman yang satu lapangan denganku bahwa kamu pemalas. Buat apa sih membangun narasi seperti itu. Kita ini teman sekantor, lho. Kalau perlu malah saling melindungi.

Kalau kamu sakit, kamu dinas, kamu ngapainpun… kamu juga tidak pernah lapor aku dulu, kok. Ga masalah. Memang ini teamwork, siap-siap saja kalau terpaksa cover punya orang lain. Waktu kamu kirim pesan marah-marah ke aku saat aku hanya sempat tidur dua jam begitu sampai Abu Dhabi, karena diberangkatkan mendadak dengan load kerjaan yang masih banyak, aku muntab. Tapi aku memutuskan untuk tidak membalas karena aku berusaha berpikir: kamu tak penting. I am not your underling, darling. Aku rasa kamu punya masalah dengan dirimu sendiri.

Oh, iya. Aku juga bukan dimarahin editor. Aku sering dimarahi sih memang. Tapi bukan di hari yang kamu maksud itu. Di hari sebelumnya, aku marah-marah ke editor karena perkara komunikasi. Inilah mengapa aku selalu menahan marah. Ketika aku betul-betul marah, aku sulit mengendalikan. Entah kenapa, aku malah ngamuk-ngamuk sama mas editor yang sudah berumur dan selama ini baik terhadapku. Aku mendiamkan panggilannya selama weekend. Dan aku tiba-tiba merasa jahat. Kok aku bisa gitu sih? Mas-nya sudah baik banget sama aku selama ini. Akhirnya aku ke kantor untuk meminta maaf, dan saking ga enaknya, aku sampai nangis-nangis dan mas-nya sampai bingung. Haha. Malu sih kalau ingat. Ah, tapi intinya, iya kamu lihat. Tapi kamu tidak dengar. Coba deh kadar kesotoyan dan hasrat ingin bergosipnya kurangin dikit.

Terakhir… Aku lihat foto kamu bawa-bawa boneka waktu liputan. Tidak apa-apa. That’s cute. Buat aku dulu, membawa sahabat imajiner Teddy Bear yang kunamai Dechie sangat membantu aku ketika aku tiba-tiba diserang panic attack di kantor. Mudah-mudahan, boneka itu juga dapat membantu kamu, ya.

SELESAI!!!

Apakah aku lega? Sedikit. Tapi yang jelas, obrolan-obrolan di atas selama ini cuma jadi momok dalam kepalaku dan membuat aku semakin rendah diri. Setelah mengetikkan jawabanku, aku merasa value-ku mulai terbentuk ulang. Tetap tidak tinggi, sih. Tapi enggak apa-apa. Yang penting aku sudah membela diri, walaupun terlambat. Besok-besok, aku akan belajar untuk bisa mempertahankan posisi agar tidak memendam, atau belajar ikhlas, tergantung situasinya. Kata petuah pinterest, kita tidak bisa mengubah begitu saja pikiran dan perkataan orang tentang kita, tapi kita bisa merubah respon kita terhadapnya.

Omong-omong, kalau ada yang baca ini dan punya kekesalan sendiri denganku, jangan jadi takut untuk ngomong langsung, ya. InsyaAllah, aku sudah jauh lebih dewasa dari aku yang 5-10 tahun lalu. Kasih tau langsung saja. Aku suka dikata-katain kok, sebenarnya. Aku jadi punya kesempatan untuk minta maaf dan memperbaiki diri, atau meluruskan jika ada kesalahpahaman. Lebih baik daripada diomongin di belakang.

Sudah ya, momok-momok masa lalu. Aku mau membuka lembaran baru.


Comments

Leave a comment