Photo by Jocelyn Erskine-Kellie from Pexels

Pada bulan-bulan terakhirku bekerja di sebuah koran nasional berbahasa asing, aku ditugaskan untuk meliput isu-isu internasional. Suatu ketika, di bulan puasa, editorku memintaku untuk menulis tentang tradisi berpuasa dan merayakan lebaran bagi warga negara asing yang menetap di Indonesia. Aku diminta untuk menghadiri acara buka bersama yang diadakan Kementerian Luar Negeri, yang dihadiri oleh para duta besar asing yang ditempatkan di Indonesia. Tugasku: mencari perwakilan dari negara yang memiliki populasi muslim yang signifikan untuk diwawancarai.

Tidak mudah menemukan target wawancara di tengah riuh dan hiruk pikuknya acara standing party tersebut. Aku harus berulang kali menanyakan pada staf KEMLU untuk mengidentifikasi para duta besar yang hadir. Ketika aku berhasil menemukan perwakilan negara yang cocok kuwawancarai pun, mereka tengah menikmati obrolan dan makanan dengan perwakilan asing lainnya, yang tentu saja sangat tidak sopan bagiku untuk menginterupsi.

Sembari menunggu mereka luang, aku menebar pandangan ke sekelilingku. Tidak jauh dari tempatku berdiri, seorang bapak tua tengah duduk sendirian di salah satu kursi yang disediakan di pojok ruangan. Ia tersenyum memandangi orang-orang yang berlalulalang, dan agaknya itu cara dia menikmati pesta. Bapak tersebut terlihat jauh lebih senior daripada duta besar lain yang menghadiri di acara tersebut.

Staf KEMLU yang tadi menemaniku tidak tampak batang hidungnya. Karena aku merasa bosan, dan cemas karena belum juga menemukan narasumber yang bisa aku wawancarai, aku memutuskan untuk mendatangi bapak itu. Sekadar mengobrol sambil berharap mungkin aku bisa mendapatkan topik lain untuk ditulis.

Menyapa orang duluan adalah hal yang aku hanya ketika aku liputan. Dalam situasi sosial lainnya, aku mungkin akan melakukan hal yang sama dengan bapak tersebut: duduk diam mengamati orang. Jujur saja, mendatanginya membuatku takut kalau nantinya menghadapi penolakan.

“Selamat malam, pak,” ujarku membuka obrolan. “Saya Anggi dari harian The Jakart* Po*t. Apa boleh saya duduk di samping bapak dan berbincang-bincang?”

Bapak tua tersebut tersenyum ramah, dan mempersilakan aku duduk di sampingnya. Aku bernapas lega.

“Apa boleh saya tahu Bapak perwakilan dari negara mana?” tanyaku.

Bosnia-Herzegovina, jawabnya.

Bosnia. Bosnia!

Bingo!

Setengah dari penduduk Bosnia memeluk agama Islam. Niatku untuk sekadar bercakap-cakap justru membawaku bertemu mangsa narasumber yang tepat untuk kuwawancarai. Aku menanyakan padanya apakah aku bisa mewawancarainya tentang kebiasaan penduduk Bosnia berbuka puasa dan bagaimana kebiasaan tersebut diterapkan bagi mereka yang bermukim di Indonesia.

Sang Duta Besar tersenyum senang. Ia memintaku datang ke kantornya esok siang.

Malam itu, aku pulang dengan hati yang plong. Cerita kebudayaan diaspora negara-negara Muslim sudah sering dibahas. Tapi Bosnia? Cerita tentang Bosnia pasca-perang jarang sekali diberitakan di media lokal, terlepas dari bagaimana kuatnya hubungan historis antara Indonesia-Yugoslavia di bawah kepemimpinan Soekarno dan J. B. Tito, sosok yang konon dikagumi oleh presiden kedua Indonesia, Soeharto. Ketika perang akhirnya pecah dan Bosnia memisahkan diri di akhir abad 20 pun, penduduk Indonesia tidak segan membantu dengan mengirimkan donasi. Masjid terbesar di Bosnia diberi nama Istiqlal, layaknya masjid terbesar di Indonesia. Masjid dengan ornamen pahatan kayu tersebut dibangun sebagai hadiah persahabatan dari Soekarno, dan kerap dikenal dengan sebutan Masjid Indonesia.

Ketika aku datang ke kantor perwakilan Bosnia-Herzegovina esok harinya, aku disambut dengan hangat oleh Pak Duta Besar dan sekretarisnya. Ya, di kantor sederhana yang hanya berisi dua ruangan itu, hanya terdapat dua pekerja: Pak Dubes dan sekretarisnya. Pak Dubes tampak sangat senang menyambut kehadiranku, mungkin karena minimnya paparan media terhadap kehadiran perwakilan Bosnia di Indonesia. Sedih rasanya melihat interaksi antara dua negara yang tadinya erat ikatannya, menjadi sebatas formalitas kehadiran perwakilan dari masing-masing negara. Tapi apa mau dikata, faktanya memang relasi antar negara saat ini lebih ditentukan dari nominal perdagangan dan investasi alih-alih ideologi.

Pak Dubes orang yang sangat kalem dan lemah lembut. Pembicaraan kami pun lebih terasa seperti obrolan santai. Singkatnya, wawancara berjalan lancar dan aku mendapat cukup materi untuk menulis satu cerita. Namun, karena obrolan yang cenderung hangat ini, aku pun tanpa sadar bercerita hal pribadi.

“Pak Dubes,” ujarku. “Sesungguhnya, saya berada di sini saat ini karena negara Anda. Perang Bosnia-lah yang membuat saya tergerak bercita-cita menjadi wartawan sedari kecil.”

Aku menceritakan bagaimana memori pertamaku tentang televisi berkisar hanya di antara Doraemon dan berita mengenai Perang Bosnia. Saat perang dimulai, usiaku masih tiga tahun. Ketika Perang Bosnia berakhir, umurku baru genap enam tahun. Pada masa-masa itu, ketika Dunia Dalam Berita tayang, aku selalu menunggu dengan ketakutan, karena Perang Bosnia sudah pasti akan diberitakan. Terus terang, gambar yang ditayangkan bisa dibilang terlalu gory untuk bocah seumurku. Pun, aku juga tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Yang aku tahu, jauh di belahan bumi yang lain, perang saudara berkecamuk di sebuah negara bernama Bosnia. Yang aku tahu, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari televisi, berjaga di depannya setiap hari, dan bertanya-tanya, “apakah hari ini perang telah usai?”

Nyatanya buat anak kecil, itu adalah sebuah penantian yang panjang. Jadilah memoriku di masa kecil penuh dengan gambaran anak-anak seumurku ditandu, berlumuran darah, menjadi korban tak bersalah dari orang-orang yang serakah.

Pada kisaran usia 9 atau 10 tahun, ketika kemampuanku membaca dan memahami sudah jauh lebih baik, aku sering membongkar koleksi novel ayahku. Di antara tumpuan buku-buku di raknya, aku menemukan sebuah buku bersampul krem dengan foto seorang anak perempuan berambut ikal. Buku Harian Zlata, demikian judul bukunya. Sinopsinya menyatakan bahwa buku ini merupakan catatan harian seorang anak Bosnia, yang merekam pendudukan Sarajevo dan insiden-insiden pada tahun 1991-1993, menjelang konflik pecah menjadi perang terbuka.

Zlata berusia 10 tahun ketika ia memulai menulis buku hariannya yang ia beri nama Mimmy. Sama sepertiku, Zlata selalu antusias menunggu akhir pekan untuk menonton MTV dan mengecek tangga lagu tiap minggunya. Kehidupan sehari-hari Zlata berubah ketika suara rentetan senjata dan pemboman mulai bertalu-talu tiap harinya. Zlata dan keluarga menghabiskan lebih banyak waktu di ruang bawah tanah rumahnya untuk menyelamatkan diri dan menghindari pemboman. Gelapnya ruang bawah tanah dan kelangkaan listrik tidak mengurungkan semangat Zlata untuk menulis di bawah temaram lilin. Ia menceritakan bagaimana ia dan keluarga bertahan hidup tiap harinya, berusaha merayakan selebrasi-selebrasi walau di tengah kepungan perang, dan bergantung pada bantuan dari Pasukan Perdamaian PBB. Buku harian Zlata penuh dengan harapan, walau kadangkala ia menyampaikan berita duka mengenai keluarga dan teman-temannya, yang menjadi korban konflik senjata. “Anak-anak nakal di atas bukit”, demikian Zlata menyebut para militan yang terlibat perang.

Berbeda dengan Buku Harian Anne Frank, yang menjadi inspirasi Zlata untuk menulis dan menamai buku hariannya, tulisan Zlata lebih banyak berfokus untuk mendokumentasikan perang dan minim cerita mengenai tumbuh kembangnya sebagai remaja perempuan. Bisa jadi hal ini karena Zlata, tidak seperti Anne yang catatannya diterbitkan setelah kematiannya, memiliki kesempatan untuk menyunting naskahnya dan mengeluarkan hal-hal yang sifatnya terlalu personal.

Yang jelas, Buku Harian Zlata mengilhamiku untuk mulai menulis dan membangkitkan ketertarikan terhadap isu-isu sosial dan politik internasional. Zlata menggugah keinginanku untuk mendokumentasikan dan menceritakan peristiwa, yang menjadi asal muasal keinginanku menjadi wartawan.

Aku ingat aku menceritakan kisah ini ke Pak Dubes dengan suara bergetar. Sungguh tidak profesional karena aku menjadi sangat emosional. Emosional, karena pada saat itu keputusanku telah bulat untuk sejenak, atau selamanya, meninggalkan dunia wartawan dan mengkonstruksi ulang harapan-harapanku ke depannya dengan lebih realistis.

“Saya selalu ingin mengunjungi Bosnia suatu hari,” kataku kepada Pak Dubes. “Saya tahu bahwa tanpa perangpun, Bosnia memiliki sejarah yang kaya.”

Pak Dubes, yang mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian, berujar, “Jika kamu suatu hari siap berangkat ke Bosnia, tolong kabari saya. Kami akan menyambut dan mengakomodasi dengan sukacita.”

Saya ingat saya menolak halus dan mengatakan jika saya berkunjung, saya akan datang mewakili diri saya sendiri dan bukan sebagai wartawan.

Ketika saya hendak pamit, Pak Dubes meminta saya menunggu dan ia sibuk berkeliling ruangan. Agak lama, ia kembali dengan memberikan saya magnet kulkas bergambar arsitektur Bosnia lengkap dengan nama negaranya.

“Saya ingin memberikanmu souvenir tapi hanya ini satu-satunya yang bisa saya temukan,” ujarnya, setengah meminta maaf. Ini cukup, kataku sambil mengucapkan terima kasih. Ini akan terus mengingatkan saya tentang pembicaraan hari ini dan keinginan saya untuk mengunjungi Bosnia, aku menambahkan.

Lepas dari hari itu, Pak Dubes kerap menanyai kabarku lewat sekretarisnya. Aku memberitahunya bahwa kini, aku bukan lagi wartawan, mengingat ada jejaring yang hanya menjaga koneksi hanya karena pekerjaanku. Namun, tidak demikian dengan Pak Dubes. Ia masih menanyai kabarku secara rutin, dan mengingatkanku untuk menghubunginya jika suatu hari aku mengunjungi Bosnia.

Magnet kulkasku hilang dimaling ketika aku sempat menaruh kulkasku sejenak di luar rumah. Kini, keluargaku tidak lagi memiliki kopi buku Zlata. Aku terlalu sering membacanya sampai-sampai halamannya berlepasan dan hilang. Aku mengganti nomorku yang kugunakan ketika aku aktif menjadi wartawan demi ketenangan batin, dan tanpa sadar, memutus koneksiku dengan Pak Dubes.

Akan tetapi, keinginanku untuk menulis tidak pernah surut. Keinginanku untuk mengunjungi Bosnia tidak pernah padam.

Aku tahu Pak Dubes tidak akan pernah membaca tulisan ini. Aku tidak tahu dimana beliau ditempatkan sekarang. Namun, lewat tulisan ini, aku ingin berterimakasih atas kesediannya mendengarkan arti Bosnia untukku dan kebaikannya untuk terus menanyakan kabar.

Terima kasih Pak Muhamed Cengic. Semoga Anda sehat dan diberkati selalu dimanapun Anda berada.


Comments

Leave a comment