Trigger warning: tulisan ini mengandung unsur kekerasan fisik, seksual, dan verbal.

Gadis Bermata Bola mematut dirinya di depan cermin. Sepasang mata besar, bulat, dan berbinar menatap balik padanya. Belo, kalau orang bilang. Kata ibunya, Gadis Bermata Bola adalah anak tercantik yang pernah dilahirkannya. Tercantik dan termuda dari tiga dara yang keluar dari rahim ibunya. “Putih bersih, sungguh ibu tak yakin kamu lahir dari ibu. Waktu di bidan, ibu kira kamu tertukar dengan anak tetangga,” ibunya kerap berkata. Sedari kecil, itu pula yang dikatakan oleh teman-teman di sekolahnya. Singkatnya, menurut mereka, paras Gadis Bermata Bola di atas rata-rata.
Namun demikian, di usianya yang kini berada di akhir belasan, Gadis Bermata Bola belum pernah sekalipun berpacaran. Gadis Bermata Bola dibesarkan oleh ibu yang taat beribadah dan sangat menjaga anak-anaknya. Jangankan berpacaran, menonton film yang ada adegan berciuman pun tak diperbolehkan.
Ibunya kerap berpesan:
“Laki-laki itu jahat, mereka tidak bisa menahan hawa nafsunya. Jika kamu berdua-duaan dengan lelaki, setan akan ikut serta datang.”
“Pacaran bisa membawa kamu ke dalam dosa. Jangan hanya ingat nikmat dunia, ingatlah nanti di neraka.”
“Kamu harus bisa menjaga kesucianmu sampai kamu menikah nanti. Kalau tidak, tak ada yang mau sama kamu.”
Mungkin karena itu Gadis Bermata Bola menjadi pemalu dan tidak percaya diri. Setiap melihat ke cermin, yang ia lihat adalah sosok berhidung lebar, berbibir tebal, dan berpipi tembam – jauh jika dibandingkan dengan temannya si Rambut Ikal, si Pipi Tirus, dan si Lesung Pipit yang jauh lebih popular di sekolah. Gadis Bermata Bola juga tidak terlalu nyaman dikelilingi banyak orang, apalagi laki-laki. Walaupun begitu, ia tidak merasa kesepian. Ia selalu memiliki teman, walaupun tak banyak. Selain itu, saat pulang, dia bisa bermain dengan kakak-kakak dan sepupu-sepupunya.
∞
Namun, tahun ini berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tanpa ia sangka, ia berhasil lolos masuk ke sebuah perguruan tinggi bergengsi di sebuah kota besar. Berat hati ibunya melepasnya, tapi ia yakin bahwa ini jalan terbaik bagi kesuksesan anaknya. Tidak lupa, wejangan-wejangan tentang dosa dan neraka ikut mengantar kepergiannya.
Hidup di kota baru sebatangkara tidak mudah bagi Gadis Bermata Bola. Dengan pembawaannya yang pemalu dan terkesan tidak ramah, Gadis Bermata Bola kesulitan mencari teman. Tidak hanya itu, dalam hitungan bulan aktivitasnya di kampus, banyak gosip tidak sedap beredar tentangnya. Teman sekelasnya menuduhnya hendak mencuri pacarnya, setelah ia sempat mengobrol seru dengan pria tersebut mengenai tugas kelompok yang akan mereka kerjakan bersama. Imbasnya, sekelompok perempuan di kelas berbalik memusuhinya. Seorang teman laki-laki yang mendekati dan ditolak oleh Gadis Bermata Bola menyebarkan gosip bahwa Gadis Bermata Bola suka dengan sesama wanita. Lelaki yang lain lagi kerap membuntutinya dan memberi perhatian yang berlebihan, yang membuat ia merasa tidak nyaman.
Gadis Bermata Bola kerap diledek sebagai wanita penggoda. Tidak ada yang peduli untuk mengenalnya lebih jauh dan memahami betapa lembut hatinya, sampai-sampai memakan daging pun ia tak bisa.
Gadis Bermata Bola tidak bisa mengusir rasa kesepiannya. Satu-satunya hiburannya adalah bertemu dengan teman-teman SMA yang bersekolah di kota yang sama, itu pun bukan teman-teman yang dulu dekat dengannya. Gadis Bermata Bola ingin pulang ke kotanya, tapi ia juga ingin bertahan dan membuat ibunya bangga.
Sampai suatu hari, teman SMA nya membawa teman satu jurusannya ke acara reuni bulanan mereka. Pemuda Baik-Baik namanya. Pemuda Baik-Baik ramah dan hangat, jauh berbeda dengan Gadis Bermata Bola yang pemalu dan terkesan dingin. “Anak ini lulusan madrasah. Agamanya pintar dan ngajinya jago,” ucap teman SMA-nya.
Pemuda Baik-Baik duduk di kursi kosong di samping Gadis Bermata Bola dan mengajaknya berkenalan. Mungkin karena pembawaannya, Gadis Bermata Bola tidak risih untuk mengobrol dengannya. Terlebih, mereka berdua ternyata menyukai buku, film, dan jenis musik yang sama. Di akhir pertemuan itu, mereka pun bertukar nomor telepon genggam.
Semenjak hari itu, Pemuda Baik-Baik rajin menghubunginya dan mengajaknya keluar. Makan bersama, menonton film, atau sekadar nongkrong mengobrol di pinggir jalan. Tiap Subuh, Pemuda Baik-Baik kerap menelponnya dan mengingatkannya untuk sembahyang.
Hanya butuh waktu dua minggu bagi Pemuda Baik-Baik untuk menyatakan perasaan dan mengajaknya berpacaran. Dada Gadis Bermata Bola berdegup kencang. Di satu sisi, ibunya melarangnya untuk berkencan. Di sisi lain, ia kesepian dan sangat nyaman dengan kehadiran pemuda itu dalam hidupnya.
Gadis Bermata Bola bertanya kepada Pemuda Baik-Baik, hal apa yang membuat Pemuda Baik-Baik menyukainya.
“Aku suka kamu karena kamu cantik, baik, dan matamu bulat dan indah, berbinar ketika terkena cahaya,” kata Pemuda Baik-Baik sambil menggandeng tangannya.
Gadis Bermata Bola sudah sering mendengar pujian, namun baru kali itu ia merasa berdebar. Ia yakin Pemuda Baik-Baik adalah orang yang baik dan taat. Jika suatu hari ia menikah dengannya, ibunya pun akan menyukainya. Gadis Bermata Bola pun mengangguk. Malu-malu, mereka menandai hari itu di kalender sebagai awal kebersamaan mereka.
Sejak hari itu, Pemuda Baik-Baik mengantar-jemputnya ke kampus. Gosip miring tentang Gadis Bermata Bola pun pelan-pelan surut, dan pria yang membuntutinya pun beranjak menjauh. Tidak hanya itu, Pemuda Baik-Baik hampir tiap minggu membawakannya bunga mawar. Tiap akhir pekan, ia rajin membawa Gadis Bermata Bola bermain ke pantai. Bagi Gadis Bermata Bola, itu adalah hari-hari terbahagia dalam hidupnya.
∞
Ulang tahun Pemuda Baik-Baik jatuh tepat dua bulan semenjak mereka berpacaran. Dari jauh-jauh hari, Gadis Bermata Bola menanyakan apa yang diinginkan Pemuda Baik-Baik sebagai kado ulang tahunnya. Pemuda Baik-Baik hanya tersenyum dan menjawab, “Aku hanya punya satu keinginan, nanti kamu akan tahu sendiri, kok. Kamu tak usahlah repot-repot mengeluarkan uang.”
Gadis Bermata Bola tidak puas dengan jawaban itu. Ia ingin menyenangkan pacar pertama yang telah banyak membantunya. Di hari ulang tahun Pemuda Baik-Baik, Gadis Bermata Bola pergi mengelilingi pusat-pusat perbelanjaan mencari kado. Ia lalu ingat Pemuda Baik-Baik sedang gemar-gemarnya mendengarkan seorang musisi. Gadis Bermata Bola pergi membelikan CD asli musisi tersebut. Dengan kue ulang tahun dari toko roti terkenal, Gadis Bermata Bola menghabiskan lebih dari separuh uang bulanannya untuk mempersiapkan perayaan kekasihnya.
Ketika Gadis Bermata Bola tiba di kos Pemuda Baik-Baik, Pemuda Baik-Baik menyambutnya tersenyum, menyuruhnya masuk ke kamar, dan menutup pintu. Gadis Bermata Bola pun menyerahkan kue dan CD yang dibelinya dengan susah payah dengan senyum lebar. Ia tahu Pemuda Baik-Baik tidak meminta apa-apa, ujarnya, tapi ia yakin Pemuda Baik-Baik akan senang dengan apa yang diberikannya.
Sayangnya, bukan kegembiraan yang ditunjukkan Pemuda Baik-Baik.
“Bukan, bukan ini yang aku inginkan,” ujar Pemuda Baik-Baik, mukanya jelas-jelas menunjukkan kekecewaan.
Kaki Gadis Bermata Bola, yang sedari tadi semangat mengitari satu mall ke mall lainnya, langsung dibuat lemas mendengarnya. Gadis Bermata Bola bisa merasakan bulir-bulir air mata siap menjatuhi pipinya. Pelan-pelan kemudian ia bertanya, apa yang diinginkan Pemuda Baik-Baik. Jika sisa uangnya masih cukup, Gadis Bermata Bola akan memberikannya.
Tiba-tiba, Pemuda Baik-Baik mendorongnya ke tembok. Bibirnya memagut bibir Gadis Bermata Bola. Lidahnya mendobrak masuk ke dalam mulut gadis tersebut.
Gadis Bermata Bola tidak siap menghadapi serangan tiba-tiba ini. Ciuman, dalam bayangan Gadis Bermata Bola, adalah sesuatu yang singkat namun lembut, dan bisa membangunkan seorang putri dari tidur panjangnya. Tapi yang ia rasakan sekarang adalah sesuatu yang basah, kasar, dan menidurkannya ke dalam rangkaian mimpi buruk yang seakan tak berujung. Dunia Gadis Bermata Bola seakan gelap gulita, sampai tiba-tiba pesan ibunya terngiang, “Nafsu itu munculnya dari setan!”
Sebelum sempat menyadarinya, telapak tangan Gadis Bermata Bola telah mendarat di pipi Pemuda Baik-Baik. Pemuda tanggung itu melangkah mundur, memegang pipinya, terlihat tekejut dan terluka. Kaget dengan apa yang baru saja dilakukannya, Gadis Bermata Bola meminta maaf dengan lirih. Tapi bukan maaf yang diberikan Pemuda Baik-Baik. Gadis Bermata Bola jatuh tersungkur, pipinya panas, dan kupingnya berdenging: Pemuda Baik-Baik balas menamparnya.
“Teganya kamu di hari ulang tahunku,” kata Pemuda Baik-Baik dengan suara bergetar.
Gadis Bermata Bola bingung, Ia berharap ibu dan kakak-kakaknya ada di sampingnya, memberi tahunya apa yang harus ia lakukan. Ia ingin marah, tapi haruskah? Ia takut Pemuda Baik-Baik akan pergi meninggalkannya. Ia takut membayangkan terjerumus kembali ke dalam jurang kesepian. Tanpa ia sadari, ia menangis sambil mengulang-ulang kata maaf.
Pemuda Baik-Baik membantunya berdiri. Dipeluknya Gadis Bermata Bola yang tengah menangis sesenggukan.
“Sudah tidak apa-apa. Terima kasih sudah memberikan kado yang aku inginkan. Kamu hanya harus tahu bahwa wajar jika orang pacaran berciuman,” katanya. Gadis Bermata Bola merasa pusing tujuh keliling. Tapi ia tidak mau tahu lagi. Yang ia tahu, Pemuda Baik-Baik sudah memaafkannya, dan dalam pelukan itu ia merasa hangat.
∞
Semua tidak berhenti begitu saja. Meskipun ulang tahunnya berbulan-bulan berlalu, Pemuda Baik-Baik masih banyak meminta. Dari kecupan di bibir, turun jauh ke leher dan ke dada.
Suatu ketika, saat sedang berada di kos Pemuda Baik-Baik, teman-teman kampus Gadis Bermata Bola menelponnya dan mengajaknya nonton konser. Gadis Bermata Bola tentu tidak melewatkan kesempatan ini. Punya teman adalah satu kemewahan baginya. Ia bergegas izin ke Pemuda Baik-Baik untuk menyusul teman-temannya. Pemuda Baik-Baik tidak menjawab, hanya merengut dalam diam.
Gadis Bermata Bola merasa ia telah melakukan hal yang salah, Ia pun duduk kembali dan bertanya, apa gerangan yang membuat Pemuda Baik-Baik bermuram durja.
“Kamu bahkan tidak suka keramaian, kenapa kamu mau nonton konser? Tampaknya kamu lebih senang dengan teman-teman barumu daripada menghabiskan waktu denganku,” jawabnya. “Aku ragu dengan rasa sayangmu ke aku.”
Gadis Bermata Bola menggelengkan kepalanya, mencoba meyakinkan bahwa bukan itu masalahnya. Ia menjelaskan bahwa ia ingin bisa dekat dengan teman-teman sekelasnya. Pemuda Baik-Baik, menghela nafas. “Apakah itu artinya kamu akan menjauh dari aku? Kalau betul begitu, aku minta kita putus saja.”
Gadis Bermata Bola terbelalak. Haruskah sampai seperti ini? Tanyanya sambil menangis.
“Kamu sayang aku?” tanya si Pemuda Baik-Baik.
Gadis Bermata Bola mengangguk.
“Kalau begitu, kulum penisku,” perintahnya, tanpa basa-basi membuka celananya.
Gadis Bermata Bola kaget dan risih. Ia mundur dan mengingatkan Pemuda Baik-Baik untuk selalu ingat akan dosa.
“Ini kan bukan zina, kalau kamu tidak mau ya lebih kita putus saja,” ujarnya, sambil menarik kepala Gadis Bermata Bola dan memasukkan penisnya dengan paksa. Puas melakukan hajatnya, Pemuda Baik-Baik melelang ke kamar mandi sembari berpesan, “Setelah ini, kita shalat maghrib berjamaah, ya.”
∞
Gadis Bermata Bola mematut diri di depan cermin. Balik menatapnya adalah sepasang mata sembab, yang selama tiga tahun kebelakang sudah biasa ia lihat. Tidak terasa ia sudah menyelesaikan semua mata kuliahnya, dan kini tinggal berhadapan dengan tugas akhirnya. Hubungannya dengan Pemuda Baik-Baik pun semakin intens. Intens bertemu, intens bertengkar. Alasan mereka bertengkar bermacam-macam. Pernah Pemuda Baik-Baik merajuk karena IPK Gadis Bermata Bola nyaris sempurna. “Kita tiap hari menghabiskan waktu bersama, kenapa nilai kamu jauh diatasku? Sudahlah, perempuan tidak usah keminter,” ujarnya, “pada akhirnya yang disukai lelaki adalah mereka yang jago masak dan jago urus anak.”
Pernah suatu ketika Gadis Bermata Bola menemukan pacarnya bertukar pesan dengan adik kelasnya. Dari bertanya tentang tugas, hingga akhirnya saling memberi perhatian. Gadis Bermata Bola cemburu. Ketika ia melayangkan protes, Pemuda Baik-Baik balik marah kepadanya. Katanya, adik kelasnya butuh bantuan. Katanya, adik kelasnya mulai duluan. Katanya, ia hanya mencoba menjadi senior yang baik. Ia pun menambahkan, “Kamu tahu tidak? Kata teman-temanku, kamu posesif sekali sampai ikut aku kemana-mana.”
Terkadang, Gadis Bermata Bola larut dalam emosi dan mengancam memutuskan pemuda yang terlanjur disayanginya itu. Kadang, Pemuda Bermata Bola akan memohon meminta maaf. Kadang, Pemuda Baik-Baik akan mendorong, menampar, atau mencengkeramnya kuat-kuat, sembari berkata, “Kamu bisa apa tanpa aku? Kamu yakin akan bertemu dengan orang yang jauh lebih baik dari aku? Memang ada yang mau dengan perempuan cengeng macam kamu? Memang ada yang mau dengan bekas pakai kaya kamu?”
Bekas pakai, menurut Gadis Bermata Bola, adalah sesuatu yang menakutkan dan membingungkan. Terus terang ia takut, apalagi kalau mengingat petuah ibunya. Di sisi lain, Pemuda Baik-Baik tidak pernah memasukkan penisnya ke dalam vaginanya. Mentok, hanya berani menggesekkan saja. Pernah Gadis Bermata Bola bertanya getir, kalau sudah sejauh ini kenapa tidak sekalian dimasukkan saja?
“Itu zina. Zina itu dosa besar yang tidak akan dimaafkan. Lagipula, aku takut kena penyakit,” jawab Pemuda Baik-Baik.
Penyakit, ucap Gadis Bermata Bola dalam hati, seakan aku kotor dan sering berhubungan kesana kemari. Tapi mungkin aku memang kotor, pikirnya lagi, pahit. Seperti yang dikatakan Pemuda Baik-Baik setiap Gadis Bermata Bola menyebut asma Tuhannya, ketika menahan sakit dari deraan tangan pemuda tersebut. “Jangan berani-beraninya kamu menyebut nama-Nya dengan mulut kotormu itu, sungguh tak pantas,” ujarnya.
Gadis Bermata Bola mungkin polos, tapi dia tidak sebodoh itu. Ia tahu ada yang salah dengan hubungannya ini. Tapi rasa sayangnya, ketakutan akan kesendirian, kenyamanan setelah berhubungan sekian lama, serta kecemasan bahwa ia tidak akan bisa menemukan pengganti Pemuda Baik-Baik membuatnya terus bertahan. Di luar itu semua, Pemuda Baik-Baik masih dirinya yang sama yang mengantarkannya kemana-mana, mengajaknya ke pantai tiap hari libur, dan memberinya mawar hampir setiap minggu. Pemuda Baik-Baik masih orang yang sama, yang rajin mengingatkannya untuk makan dan sembahyang. Di tengah segala makian, Pemuda Baik-Baik pun sering membanjirinya dengan pujian.
Tak hanya itu, Pemuda Baik-Baik juga berjanji untuk menikahinya begitu lulus dari kuliah. Gadis Bermata Bola pun sempat dikenalkan pada ibu Pemuda Baik-Baik lewat telepon, serta waktu ibunya berkunjung ke kota mereka bersekolah. Tak lupa, Pemuda Baik-Baik melatih Gadis Bermata Bola untuk mencium tangannya dan mengucapkan salam selepas diantar ke kampus. “Ini nanti akan jadi kewajiban istri. Kalau sudah begini, kamu tampak seperti calon istri yang baik sekali,” ujarnya sambil tersenyum.
Gadis Bermata Bola yakin bahwa setelah menikah, kisah mereka akan ditutup dengan bahagia. Pemuda Baik-Baik akan berubah menjadi suami yang bertanggung jawab seperti petuah agamanya.
∞
Nyatanya, dongeng Gadis Bermata Bola dan Pemuda Baik-Baik tidak berakhir ala cerita puteri raja. Suatu hari, Gadis Bermata Bola berkunjung ke kos Pemuda Baik-Baik. Ketika ia membuka pintu, tidak ada siapapun di dalam. Tampaknya Pemuda Baik-Baik tengah keluar mencari makan. Gadis Bermata Bola memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan bermain game di komputer Pemuda Baik-Baik. Ketika ia menyalakan monitor, yang pertama dilihatnya adalah browser pribadi yang tengah membuka sebuah laman surel. Akun surel tersebut menggunakan nama Pemuda Baik-Baik, namun bukan akun yang biasa digunakannya sehari-hari.
Gadis Bermata Bola tidak kuasa membendung rasa penasarannya dan membuka kotak surat akun tersebut. Begitu ia membaca isinya, hatinya hancur berkeping-keping. Tampak bahwa Pemuda Baik-Baik, selama beberapa bulan ke belakang, sibuk surat menyurat dengan seseorang bernama Wanita Lemah Lembut. Gadis Bermata Bola tahu betul siapa perempuan ini. Ia adalah cinta pertama dan mantan Pemuda Baik-Baik, yang sudah saling mengenal sejak SMP. Pemuda Baik-Baik pernah menceritakan dan menunjukkan foto perempuan itu padanya sembari menangis, walaupun sejurus kemudian dia meyakinkan Gadis Bermata Bola bahwa itu semua adalah masa lalu. Dalam surat menyurat itu, tampak mereka sepakat untuk merajut kembali hubungan mereka yang sempat terputus, bahwa ketika Pemuda Baik-Baik nanti pulang kampung, mereka akan bertemu dan resmi kembali berpacaran.
Gadis Bermata Bola terhenyak. Sambil berusaha mengontrol dirinya, ia meneruskan semua surel itu ke alamat pribadinya dan ke alamat Pemuda Baik-Baik yang biasa ia gunakan. Gadis Bermata Bola mematikan monitor dan keluar dari kamar tersebut. Ia pulang ke kosnya, meringkuk di ujung kasurnya, menunggu Pemuda Baik-Baik meneleponnya dalam menit-menit yang rasanya berlangsung berminggu-minggu. Ketika teleponnya berdering, Gadis Bermata Bola tahu bahwa Pemuda Baik-Baik sudah ada di depan rumah kosnya. Gadis Bermata Bola keluar dari kamarnya tanpa menjawab telepon, dan membuka pintu depan kosannya. Pemuda Baik-Baik melangkah masuk sambil terengah-terengah.
“Aku bisa jelaskan,” ujarnya.
Apa yang hendak kau jelaskan, bukankah kau berjanji akan menikahiku begitu kita lulus? Gadis Bermata Bola bertanya dengan tenang.
“Kamu tahu itu tidak mungkin. Aku harus bekerja dan mapan dulu.”
Ada apa antara kau dan Wanita Lemah Lembut? Lanjut Gadis Bermata Bola.
Pemuda Baik-Baik terdiam, sebelum akhirnya menjawab. “Maaf, aku bingung memilih siapa, antara kamu dan dia. Sayangnya kamu tidak berhijab,” ucapnya. “Dia juga perempuan yang sholehah, dulu dia tidak mau aku peluk, dan malah aku diputuskannya.”
“Tapi aku juga sayang kamu, beri aku waktu berpikir dulu,” tambahnya.
Gadis Mata Bola merasa dunianya runtuh. Dia tidak menangis, seperti yang biasa ia lakukan. Ia tidak bersujud meminta maaf dan memohon untuk dipilih, seperti yang biasa ia lakukan. Ia tidak menarik turun celana Pemuda Baik-Baik, melakukan hal-hal yang menyenangkannya ketika ia marah, seperti yang biasa ia lakukan. Alih-alih, ia membuka pintu rumah kosnya, menarik tangan Pemuda Baik-Baik, mendorongnya keluar, dan mengunci pintunya dari dalam. Pemuda Baik-Baik berteriak-teriak marah dan menggedor pintu dari luar. Gadis Bermata Bola masuk ke kamarnya, meringkuk di pojokan dan menutup telinganya. Tak lama, suara gedoran dan amarah Pemuda Baik-Baik berhenti. Tampaknya, ia diusir warga.
∞
Semenjak itu, Gadis Bermata Bola seringkali merasa ketakutan. Telepon genggamnya kerap berdering, diserbu oleh panggilan dari Pemuda Baik-Baik. Kadang ia mengirimkan pesan, memaksa Gadis Bermata Bola untuk kembali kepadanya. Kadang ia hanya mengirimkan makian, atau seloroh jorok untuk mengingatkan Gadis Bermata Bola tentang hal-hal yang pernah mereka lalui bersama. Di lain waktu, Pemuda Baik-Baik mengirimkan ancaman untuk menceritakan hubungan mereka ke ibu Gadis Bermata Bola, atau memerkosanya jika mereka sampai selisih jalan.
“Rugi aku dulu tidak menghamili kamu,” bunyi salah satu pesannya.
Berkali-kali ia memblokir nomor pria itu, selalu ada nomor baru yang sedia menghubunginya. Padahal, menurut status media sosialnya, Pemuda Baik-Baik sudah resmi berpacaran dengan Wanita Lemah Lembut. Mereka pun kerap saling mengirimkan komentar mesra yang dijawab dengan restu dari teman-teman keduanya.
Gadis Bermata Bola bingung. Ia tidak biasa bercerita. Pun bercerita, ia tidak tahu harus kemana. Teman-teman yang memperkenalkannya ke Pemuda Baik-Baik tampaknya lebih percaya pada pemuda itu. Gadis Bermata Bola tahu dari salah satu teman pria itu, yang berbaik hati mengecek keadaannya – itu pun tanpa mau masuk ke kosannya ataupun turun dari motornya. “Dia sudah membangun narasi bahwa selama berpacaran, kamu kerap menggodanya untuk berbuat yang tidak-tidak. Maaf aku tidak bisa membantu banyak. Di satu sisi, aku tahu aslinya dia seperti apa. Di sisi lain, dia itu temanku,” ucapnya, sambil menyalakan motornya dan izin pamit.
Gadis Bermata Bola merasa hatinya tenggelam, jauh tersungkur bersama kewarasannya. Tiap hari, ia menghabiskan waktu di kolong tempat tidur atau dalam lemarinya, mencoba menutup mata dan kabur dari dunia lewat gulita. Jangankan skripsi yang sedang ia kerjakan, makan pun ia lupa-lupa ingat. Ibunya tiap hari mengiriminya pesan: “Kapan selesai skripsinya? Kapan sidang proposal? Kapan kamu mau wisudanya?”
Biasanya, Gadis Bermata Bola hanya membalas dengan satu kalimat: Belum ada ide, Bu.
Hingga siang itu, Ibunya mengirim pesan yang berbeda: “Ibu sudah di jalan menuju tempat kamu. Ibu cuma punya beberapa jam. Ibu pulang balik nanti sore naik kereta.”
Gadis Bermata Bola kelabakan membersihkan diri dan kamarnya. Ia mematut dirinya di depan cermin. Menatap balik ke arahnya adalah dua mata besar dengan lingkaran hitam di bawahnya. Ia bingung harus menjawab apa ketika nanti ditanya ibunya.
Tidak lama, terdengar ketukan halus di pintunya. Ibunya masuk dan membawa dua nasi kardus, tampak tergesa. “Kita makan dulu, ibu sambil menyelesaikan kerjaan dari kantor,” ujarnya, kemudian duduk di meja belajar Gadis Bermata Bola sambil mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya. Mereka makan dalam hening, karena ibu Gadis Bermata Bola sibuk dengan dokumen dan telepon genggamnya. Selesai makan, ibu Gadis Bermata Bola menatap anaknya.
“Lho! Kamu kok kurus dan lesu sekali! Kamu sehari-hari makannya gimana sih?” tanya ibunya.
Gadis Bermata Bola hanya tersenyum lemah. Sibuk memikirkan skripsi, jawabnya.
“Skripsi itu ga usah berat-berat, ga usah terlalu sempurna. Lebih berat lagi nanti pas kamu masuk dunia kerja,” kata ibunya.
Gadis Bermata Bola mengangguk. Ia berpikir, mungkin ini waktu terbaik untuk memberi tahu ibunya, bahwa ia adalah pendosa yang tidak mematuhi aturan keluarga mereka. Bahwa ia kotor, seperti bagaimana Pemuda Baik-Baik sering menyebutnya.
“Kenapa, kenapa kau gak lulus-lulus?” cecar ibunya tiba-tiba, sambil sibuk menyoret berkas-berkas di hadapannya.
Bibir Gadis Bermata Bola bergetar. Tertekan, lirih ia mengucap.
“Tertekan? Ada-ada saja! Stress itu hanya untuk orang dewasa yang sibuk cari uang!” ibunya lekas memotong. “Kamu pacaran, ya? Jangan bilang kamu pacaran! Pacaran itu cuma bawa masalah saja!”
Gadis Bermata Bola hanya diam.
“Sudah, kamu itu gak usah mikir yang lain-lain. Mahasiswa ya tugasnya belajar!” ujar ibunya membereskan kertas-kertas di hadapannya. “Ibu mau sholat dan mengejar kereta. Besok pagi-pagi ibu ada kerjaan. Ibu ini sudah tua, sudah capek, pengennya istirahat aja di rumah tapi kamunya kok gak lulus-lulus, ibu jadi harus kerja terus untuk membiayai kuliah kamu!”
Gadis Bermata Bola urung bercerita. Ia hanya tersenyum seolah tak ada apa-apa, dan ikut sembahyang di belakang ibunya.
Sorenya, dengan taksi, Gadis Bermata Bola mengantar ibunya ke stasiun. Ibunya bergegas masuk ke kereta yang sudah tersedia di jalurnya. Dari peron, Gadis Bermata Bola melambaikan tangan ke ibunya, yang melambai balik dari jendela kereta. Ketika kereta telah berlalu, Gadis Bermata Bola mengambil telepon genggamnya. Ia meneruskan pesan-pesan dari Pemuda Baik-Baik ke ibu pemuda tersebut, sambil berpesan: Tolong jangan hubungin saya lagi, baik tante maupun anak tante. Ia kemudian membuka ponselnya dan membuang kartu sim-nya.
Gadis Bermata Bola melangkah keluar dari stasiun. Langkahnya semakin cepat, tak lama ia pun berlari. Berlari kemanapun, terserah kemana kakinya ingin melangkah. Berharap rasa sakit, cemas, dan takut yang dihadapinya bisa lalu bersama angin dan senja. Ketika habis nafasnya, ia mendapati dirinya berdiri di depan sebuah kafe. Di balik jendela kaca kafe tersebut, ia melihat seorang pria berdasi merah tengah menyeruput kopi dan sibuk dengan laptopnya. Seperti kesetanan, Gadis Bermata Bola melangkah masuk ke dalam. Didatanginya si Pria Dasi Merah. Lelaki tersebut mengangkat wajahnya, bingung dengan kehadiran sosok gadis asing di hadapannya.
“Mas, maukah Mas meniduri saya? Saya masih perawan,” ucap Gadis Bermata Bola tanpa basa-basi.
Pria di depannya tampak kaget. Ia lalu melihat Gadis Bermata Bola dari atas sampai bawah.
“Kamu serius?” tanyanya.
Gadis Bermata Bola hanya mengangguk.
“Kamu mau dibayar berapa?”
Terserah, kata Gadis Bermata Bola.
“Dimana?”
Terserah, jawab gadis itu.
Pria itu bergegas merapihkan mejanya, merangkul Gadis Bermata Bola, melangkah keluar kafe sambil tertawa. “Siapa sih yang tidak mau tidur sama dara cantik bermata indah dengan badan semulus ini?” ujarnya, sambil memanggil taksi dan membawa Gadis Bermata Bola ke penginapan melati terdekat.
∞
Semenjak petang itu, Gadis Bermata Bola berubah. Ia giat belajar dan berolahraga, bertekad untuk memperindah tubuhnya. Selain itu, ia juga rajin membaca puluhan buku untuk belajar membawa dan membangun kepercayaan dirinya. Tak lama, ia lulus dengan predikat sangat memuaskan. Ibunya tersenyum bangga di wisudanya, namun senyum itu tidak lagi menggetarkan hati Gadis Bermata Bola.
Lepas dari perguruan tingginya yang memang terkenal mentereng, tidak sulit bagi Gadis Bermata Bola untuk menemukan pekerjaan. Dia mulai meniti karir sebagai public relations di sebuah perusahaan ternama. Rajin dan mampu mempesona bos dan kliennya, karir Gadis Bermata Bola melesat dengan cepat.
Gadis Bermata Bola punya ambisi dalam hidupnya: mandiri, menumpuk harta, dan menimbun pria. Uangnya dibelanjakan untuk merawat wajah dan badannya, serta membeli busana, tas, dan sepatu dari butik-butik kenamaan. Di waktu senggangnya, ia sibuk menjerat lelaki. Siapapun yang menarik hatinya, akan jadi mangsa baru untuknya. Didekatinya pria-pria tersebut, dikencaninya, diajaknya bercinta, dan diputuskannya saat mereka tergila-gila tanpa sekalipun menengok kebelakang.
∞
“Kucumbui mereka semua, dan kutinggalkan,” Gadis Bermata Bola menutup cerita masa mudanya. Di depannya duduk Lelaki Berkerah Putih, kawan kerja dan teman tidurnya. Mereka tengah bersantap malam di sebuah hotel bintang lima, dengan sebuah kamar di lantai 12 sudah mereka bayar untuk urusan ranjang nanti setelah makan. Mungkin karena Lelaki Berkerah Putih sudah beranak istri, Gadis Bermata Bola merasa nyaman untuk bercerita apa saja padanya, tanpa khawatir dengan ikatan yang mungkin terbentuk karenanya.
“Kau tahu? Kau tahu apa pesonaku? Sehingga semua pria bertekuk lutut di hadapanku?” ujar Gadis Bermata Bola memulai kembali pembicaraan. Lelaki Berkerah Putih menjawab bahwa Gadis Bermata Bola cantik dan percaya diri.
“Bukan, bukan itu saja. Sepasang mataku inilah kuncinya. Mata yang bulat dan besar seperti bola, berbinar seperti kelerang di bawah kerlip surya! Hahaha!” Angkuh Gadis Bermata Bola tertawa, sembari menyuapkan potongan fillet mignon ke dalam mulutnya.
Ketika ia mengangkat kepalanya dan melihat wajah Lelaki Berkerah Putih, lawan bicaranya itu hanya tersenyum santun seakan bingung memberi reaksi. Seketika, Gadis Bermata Bola merasa mual. Ada yang salah, pikirnya.
Gadis Bermata Bola bergegas pamit ke kamar kecil. Di sana, ia mematut dirinya di depan cermin. Di balik kaca, ia melihat dua lubang kecil, kosong, dan hitam, menatapnya balik dalam hampa.


Leave a reply to jiji Cancel reply