Semua bermula dari pesawat (catatan personal tentang depresi klinis dan gangguan kecemasan)

Too long, don’t read: jangan abaikan tanda-tandanya, segera periksa, jangan takut berobat, tahu kapan waktu untuk mendengarkan atau tidak mendengarkan orang lain, berhentilah mendiagnosis diri sendiri dan membanggakannya, edukasi diri sebelum memberi nasihat ke orang-orang yang mengalami gangguan mental.

There’s nothing wrong with having a mental condition, but it’s also not something you should brag about. It’ll make harder for society to accept that mental diseases do exist, and in returns, it’ll make it difficult for people suffering the same condition to get the supports they need. Please. Get some help.

34184d6e27742b4161b24f492dfe1627
Credit: unknown/pinterest/ravishly.com

–0–

Menulis ini butuh keberanian luar biasa bagiku. Aku masih takut stigma. Karirku nanti mungkin bisa terhambat karena jejak digital. Tetapi, masalah mental bukanlah hal yang langka di era modern ini. Bisa jadi, kita semua mengalaminya dan rapi menyembunyikannya, sampai nanti ia bergejolak dengan sendirinya. Aku sudah pernah berada di sana. Buatku, lebih baik jujur daripada terlambat. Buatku, lebih baik disalurkan daripada jadi borok di hati dan kepala. Buatku, lebih baik kuungkapkan jika ini bisa membantu seseorang di luar sana.

Karenanya, aku ingin sekadar berbagi cerita.

Semuanya bermula dari pesawat. Iya, pesawat. Moda transportasi yang dulu sebagai anak rantau nan manja, menjadi pilihan pertamaku untuk berpergian. Moda transportasi yang sebagai jurnalis, kerap kutumpangi saat berdinas.

Mungkin ada tanda-tanda lain di tahun-tahun sebelumnya, tapi cenderung kuabaikan. Namun, dari pesawat ini, aku tidak bisa mengelak. Sudah tidak terhitung berapa kali aku menghamburkan uang untuk membeli tiket pesawat yang tak kunaiki. Sudah berapa kali aku berada di bandara, dengan kaki gemetar, sesak napas, dan ujung-ujungnya mundur dari antrean check-in. Sudah berapa kali aku menolak penugasan ke luar kota maupun ke luar negeri. Belum lagi, menahan rasa malu ketika aku jatuh terduduk karena kakiku lemas, dan mulai terisak saat turun dari pesawat. Kucoba minum obat batuk atau antimo, atau keduanya. Yang terjadi, sepanjang di pesawat, aku pening dan asam lambungku naik karena ngantuk tapi tidak bisa tidur. Semua suara, sekecil apa pun, memekakkan telingaku. Membuatku menjadi was-was, bahwa sebentar lagi pesawatku akan jatuh.

Tetapi, semua tidak berhenti di pesawat. Entah kenapa, aku mulai kesulitan untuk menghadiri acara atau menelepon narasumber. Ada ketakutan yang entah muncul dari mana, entah terhadap apa. Dadaku pun sering sesak. Mendadak, setiap pagiku terasa berat. Aku tidak lagi tertarik untuk melakukan apa-apa. Aku merasa sangat lelah, bahkan sebelum aku mulai melakukan apapun.

Tidak butuh waktu lama bagi ketakutanku untuk naik pesawat dan beban untuk bekerja menimbulkan masalah. Aku merasa tidak sanggup lagi menjalani hari-hariku seperti biasa. Aku mengajukan surat resign, tapi editorku memintaku untuk berpikir lagi. Aku mengalami quarter-life crisis, katanya. Semua orang melaluinya.

Tetapi, aku tidak jujur soal pesawat ini. Aku bingung harus mengatakan apa. Semakin lama, aku semakin sering menolak penugasan dengan berbagai alasan. Untungnya, pasporku hilang dimaling. Aku punya alasan kuat untuk menolak terbang. Tapi aku tidak bisa begini terus. Aku mengajukan surat resign kedua dan kali ini aku kekeuh bahwa aku butuh istirahat. Nyatanya, bukan sekadar istirahat yang aku butuhkan.

Pasca aku mengundurkan diri dari kantor, aku makin menjadi. Terus terang, ada hal-hal personal yang aku alami yang juga berpengaruh pada kondisiku. Tapi tidak akan, atau tak akan pernah, aku ceritakan di sini. Sekarang, bukan hanya pesawat, lewat jalan layang dan naik elevator maupun eskalator pun aku tak berani. Aku tak berani berada di gedung tinggi. Padahal, dulu, jembatan, jalan layang, dan tempat tinggi adalah arena buatku untuk mencari ketenangan.

Orang-orang mulai menyarankanku ke psikolog, tapi aku malu. Aku merasa tidak ada yang salah denganku. Ini hanyalah sebuah episode yang nanti akan berlalu.

Sampai akhirnya, aku mulai mengurung diriku di dalam lemari untuk bisa tidur. Sampai setiap aku memejamkan mata, yang kubayangkan adalah kematian. Aku mulai menyusun skenario cara mati terbaik, bagaimana meninggalkan dunia ini dengan cara yang tepat. Membayangkan hal-hal ini memberikanku kepuasan tersendiri. Lucu, karena ketakutanku terhadap tempat tinggi adalah bukti bahwa aku takut mati.

Aku mulai menemui psikolog di pertengahan 2017. Untuk sampai ke sini saja, jalannya panjang. Bagaimana kalau tak ada apa-apa? Bagaimana kalau aku hanya melebihkan masalah? “Ya, bagus,” kata suamiku. “Berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ya kan?”

Beberapa pertemuan awalku dengan psikolog berjalan lancar. Di pertemuan entah ke berapa, psikolog memujiku bahwa air mukaku kini terlihat lebih cerah. Iya, kubilang. Paling-paling yang kutakutkan adalah sakit dan kematian. Bahwa aku kerap diam dan duduk berjam-jam setiap harinya, karena selalu saja ada bagian tubuhku yang sakit. Selalu aku yakin bahwa aku terkena kanker. Selalu aku yakin sedikit gerakanku mempercepat waktuku menuju kematian. Makanya aku memilih duduk kaku saja di sofa. Bahwa aku takut ke rumah sakit. Tapi setelah berhasil mengumpulkan keberanian, dokter selalu memulangkanku dan mengatakan aku hanya kena GERD dan cemas. Aku juga suka mengkhayal mati, kubilang, dan itu lucu karena kontradiktif. Aku berbicara ini sambil tertawa, tetapi aku melihat jelas air muka psikologku berubah.

“Maaf,” katanya, “Saya rasa bukan kapasitas saya menangani kamu. Kamu harus ke psikiater. Kamu menunjukkan gejala depresi klinis dan anxiety disorder, bukan sekadar kecemasan biasa. Kita sudah melakukan terapi tapi kondisimu tidak membaik. Ini biologis dan bukan lagi psikologis. Saya akan beri rujukan untuk kamu.”

Aku diarahkan ke psikiater di rumah sakit yang sama, yang memberiku wejangan dan obat-obatan. Katanya, kondisiku ini bisa saja turunan, atau berasal dari gaya hidup. Yang jelas, ada masalah dengan produksi hormon di otakku.

Aku tidak tahu obat apa saja itu yang aku terima. Atau tepatnya, aku tidak mau tahu. Aku ketakutan, karena aku menelan stigma masyarakat bahwa berobat ke psikiater, artinya aku gila. Lebih-lebih, obat yang aku terima membuat aku sangat amat mengantuk. Aku jadi kerap bertengkar dengan orang-orang di sekitarku karena aku terus tertidur, melewatkan jadwal, dan blank.

Aku mencoba bercerita kepada orang-orang terdekatku.

“Kamu berobat? Ngapain sampai berobat? Kaya orang gila beneran aja. Ih, nanti ketagihan, lho.”

“Aku juga pernah mengalami itu. Tapi aku percayakan pada Allah. Berdoa. Shalat. Lalu aku sembuh. Kamu kurang bersyukur saja kali.”

Respons-respons seperti itu yang kudapatkan. Di masa saat kepercayaan diriku sedang rendah-rendahnya, dan dengan kondisi sulit menerima keadaanku, aku menelan omongan tersebut mentah-mentah. Ketika aku merasa kondisiku membaik dua bulan kemudian, aku menghentikan pengobatanku secara sepihak. Psikiaterku sampai menghubungi suamiku, dan mengingatkan bahwa aku tidak boleh putus obat sembarangan.

Tapi aku tidak peduli. Aku tidak mau dipandang gila. Aku tidak mau orang-orang sekitarku khawatir atau menjauh dariku. Belum lagi aku tidak bekerja, dan uang yang harus dikeluarkan untuk berobat tidak sedikit besarannya. Aku tidak mau membebani siapa-siapa. Ngeyel, aku malah mencari pekerjaan lagi.

Dari situ, aku mulai mengakui bahwa mungkin, memang betul ada yang salah denganku. Aku membutuhkan waktu hingga hampir satu jam hanya untuk turun mobil dan melangkah masuk kantor. Apa yang aku rasakan? Sesak napas. Berkunang-kunang. Keringat dingin. Aku juga butuh waktu berjam-jam untuk menelepon narasumber.

Apa yang membuatku seperti itu? Aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu, bertemu dan berkomunikasi dengan orang serasa laga hidup dan mati. Sama seperti ketika aku naik pesawat, elevator, eskalator, ataupun jembatan layang. Aku takut mereka roboh, dan aku kehilangan kontrol.

Lagi-lagi, tidak butuh waktu lama sampai aku menyerah, keluar kantor, dan memilih mengurung diri dalam rumahku. Bulan-bulan itu adalah bulan-bulan yang teruk. Tidurku selalu disela mimpi buruk. Aku selalu yakin, setiap aku di rumah sendirian, akan ada orang yang masuk, merampok, menyekap, membunuhku. Sekecil apapun suara di luar sana, terdengar nyaring dan membuatku waspada. Bahkan, masuk ke dalam kamar mandi saja aku tak berani. Keluhan-keluhan fisik pun mulai bermunculan. Sering kali aku tidak bisa tidur karena kakiku lemas. Radang tenggorokan berkali-kali menyerang. Aku selalu yakin aku kena penyakit ganas. Untuk ke dokter saja, butuh waktu lama bagiku mengumpulkan keberanian. Setiap ke dokter, permasalahnnya selalu asam lambung, GERD, dan tak satu dua dokter yang curiga bahwa aku punya gangguan kecemasan.

Hari-hariku kuhabiskan dengan melamun dan mendengar detikan jam. Atau bermain game online dan berteman dengan orang-orang di dunia maya. Kenapa game? Karena game mengalihkan duniaku dengan membuat dunia baru. Karena dalam game, aku bisa pura-pura jadi orang lain dan membentuk ikatan emosional dengan orang-orang yang tidak tahu kondisiku seperti apa. Karena game membuatku berkonsentrasi pada satu titik dan membuat pikiranku tidak lari kemana-mana.

Dalam kondisi begini, support system adalah sesuatu yang paling aku butuhkan. Tapi ternyata, mencari dukungan bukanlah hal yang mudah. Rata-rata, respon seperti ini yang diberikan orang-orang sekitar kepadaku:

“Kalau ingin mati, kenapa tidak mati saja?”

“Jangan menjustifikasi masalahmu dengan kesehatan mentalmu.”

“Gue juga sering cemas. Tapi lalu gue berpikir positif, hilang deh.”

“Lo tuh kebanyakan baca ga sih? Makanya lo jadi berpikir punya penyakit ini itu?”

“Lo masih belum sembuh juga? Lo ga mau sembuh kali ya?”

“Elah gitu aja takut. Lawan, dong, lawan. Gitu aja stress.”

“Lo males kerja aja kali? Hidup manusia ditentukan oleh bekerja, lho.”

:’)

Teman-teman, aku sangat sayang sama kalian. Aku tahu hal-hal yang kalian katakan itu untuk kebaikanku. Tapi, please, biar aku saja yang mendengar kalian ngomong begitu, ya. Kalau ada orang lain bercerita ke kalian, jangan ragu untuk menyarankan mereka ke psikolog saja. Karena bisa jadi, kalian adalah harapan terakhir untuk bercerita buat mereka. Bisa jadi, kondisi mereka membuat mereka mengartikan kata-kata kalian secara berbeda.

Aku adalah contoh nyata. Bukan semangat dan ketenangan yang kurasakan dari upaya mempraktekkan nasihat kalian. Yang ada, aku takut mengambil tindakan. Semua yang aku lakukan tampak salah. Sulit untuk mengatakan ke kalian bahwa, aku yang hari ini masih lelah dan ketakutan, sama seperti aku yang kemarin. Akhirnya, setiap bertemu kalian, aku selalu berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Aku takut kehadiranku menularkan hawa negatif ke kalian. Aku pun akhirnya memilih menghindar.

Teman-teman, aku yakin di dunia ini tidak ada orang yang mau terhimpit oleh ketakutan, oleh perasaan tercekik sepanjang waktu, oleh hidup yang bisu dan tanpa arah. Aku yakin di dunia ini tidak ada orang yang ingin dirundung bingung, antara ingin mati atau takut mati. Aku yakin di dunia ini tidak ada orang yang menikmati kehilangan kesenangan dari hal-hal yang dulu disukainya. Aku yakin orang sepertiku, yang punya segudang mimpi dan ambisi, tak akan mencari-cari alasan begitu saja untuk berhenti berupaya. Aku yakin, tanpa kalian semprot pun, orang itu sudah berusaha untuk berpikir positif dan melawan ketakutannya. Aku yakin, justru itu hal yang pertama mereka lakukan. Tatapi, apa yang bisa mereka lakukan ketika ketakutan tersebut sangat irasional, dan tidak punya wujud untuk diperangi? Logika gagal menghadang. Ini bukan sesuatu yang bisa hilang hanya dengan berobat dan berkonsultasi semalam dua malam.

Kenapa tidak mati saja? Haha. Iya, aku pernah ditanyai begitu. Aku kasih tau apa alasannya, ya: aku ini pengecut. Aku percaya surga dan neraka. Bagaimana jika aku mati nanti, aku bukan disiksa dengan bara api, tapi dengan perasaan takut dan tertekan yang sama yang kemudian aku rasakan dalam keabadian? Iya, sebegitu bencinya dan menyangkalnya aku terhadap apa yang kurasakan, sampai-sampai mati pun aku tak bisa. Ah, aku berharap kalau aku mati aku menguap dan menghilang begitu saja.

Aku ingin sembuh. Untuk bisa sembuh, aku harus menerima kondisiku sendiri. Bagaimana aku bisa menerima kondisiku jika aku sendiri terjebak dalam penyangkalan? Baik dari diriku sendiri, maupun orang lain di sekitarku. Wajar saja jadinya aku tidak mau ke dokter. Aku tidak ahli tentang penyakitku sendiri. Bagaimana aku bisa mengedukasi diri ketika aku bahkan tak punya kawan bicara? Aku dan suamiku sama-sama kalut dan sedang belajar menghadapi apa yang terjadi pada diriku ini. Bagaimana aku bisa mengedukasi diriku kalau aku takut pergi ke tenaga profesional, takut karena tekanan mental dan tekanan sosial?

Membaca menjadi caraku mencari tahu. Apakah karena membaca, aku jadi mendiagnosis diriku sendiri? Tidak. Aku harus membela diriku di sini. Aku tidak tahu apa itu gangguan kecemasan sebelum aku didiagnosis oleh psikolog dan psikiater. Aku menganggap depresi hanyalah kata lain dari stress. Ketika aku divonis mengidap dua perkara itu, aku menolak mencari tahu. Ini adalah kesalahan terbesarku yang membuat masalah mentalku menjadi berlarut.

Ketika perang antara ingin mati dan takut mati ini mulai tak tertahankan, ketika penyakitku ini mulai membebani orang-orang di sekitarku, ketika aku yakin aku sakit keras tapi memeriksakan diri ke dokter saja sudah menambah ketakutan baru, ketika aku diserang oleh ancaman-ancaman imajiner yang membuatku selalu membatu, ketika bercerita untuk mencari solusi mulai menjadi pedang bermata dua buatku, di saat itulah muncul hasratku menggebu untuk tahu. Aku perlahan memberanikan diriku untuk membaca. Mencari tahu aku itu sebenarnya sakit apa. Mencari tau asal muasalnya dari mana. Mencari tahu apa yang bisa aku lakukan sendiri untuk mengurangi gejala-gejalaku dan kembali beraktivitas seperti dulu.

Bisa kukatakan, pertolongan terbesarku datang dari adikku. Sungguh lucu bahwa, aku sesungguhnya punya orang yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas di dekatku, tapi kepadanya lah paling sulit buatku untuk terbuka. Keluargaku sering kali protes bahwa aku enggan mengunjungi mereka. Atau malas bercerita. Tapi kini aku mau terbuka saja. Aku ingin keluargaku melihatku hanya di saat terbaikku. Membuat keluargaku cemas adalah beban terberat buatku.

Adikku lah yang menolongku untuk bisa abai terhadap judgment orang lain.

“Ji, banyak orang yang begitu mudahnya mengatakan. ‘ah, kaya gitu aja stress,’” tanpa basa-basi ia, seorang dokter muda, tiba-tiba berkata di pertengahan 2018, saat kami sedang makan siang.

“Mereka itu tidak tahu bagaimana di dunia ini ada orang yang harus berusaha untuk bisa merasa baik-baik saja. Buat sebagian orang, itu bukan hal yang mudah. Mereka tidak akan pernah mengerti itu. Kalau ada yang ngomong gitu, senyumin aja. Jangan didengerin.”

Di sini, aku memutuskan untuk berteman dengan penyakitku. Berteman, agar aku bisa baik-baik memintanya pergi atau minimal membujuknya agar tak sembarang berulah.

Mulailah aku semakin rajin membaca. Aku membaca bukan untuk menjustifikasi atau merupa-rupa agar bisa mengada-adakan penyakitku. Aku membaca untuk tahu bagaimana bisa mengatasinya. Agar aku bisa kembali mengejar mimpi, agar orang dekatku tak perlu khawatir lagi denganku. Pelan-pelan, kukumpulkan kliping-kliping self-helf. Pinterest menjadi andalanku untuk tips, motivasi, dan infografis. Kutandai habit-ku yang yang merusak hormonku dan berusaha mengubah gaya hidupku yang tidak sehat. Kucoba untuk mulai berolahraga, menyeimbangkan gizi, latihan pernafasan, mengalihkan perhatian, dan mengkonsumsi makanan yang konon membantu menenangkan.

Ini bukan hal yang mudah, apalagi ketika bangun dari tempat tidur saja terasa berat, makan apapun berasa tak enak, takut keluar rumah, naik kendaraan, apalagi bertemu orang. Apalagi mengingat bahwa habit-habitku adalah candu bagiku, yang membantu menenangku sesaat namun menimbulkan dampak negatif secara jangka panjang yang membuatku terjerumus lebih jauh dalam kecemasan. Butuh waktu lama sampai efek dari upaya-upaya ini benar-benar terasa, apalagi di tengah perangku melawan ketakutan dan kesedihan yang abstrak bentuknya.

Tapi efek itu betul-betul ada, walaupun makan waktu setahun kira-kira. Entah timbul kekuatan dari mana, aku memberanikan diriku untuk kembali bersekolah, hal yang selama ini kuimpi-impikan. Di luar dugaanku, hari-hariku bersekolah nyatanya lancar-lancar saja.

Namun, aku bohong kalau mengatakan semuanya berjalan normal. Aku masih sering mengalami panic attack di dalam kelas, terutama dalam situasi yang mengharuskan aku bertanya dan membuatku menjadi pusat perhatian orang banyak. Kalau sudah begini, aku harus menyingkir ke luar kelas dan mengatur nafas hingga panikku hilang. Selain itu, ada beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa walaupun aku sudah bisa kembali beraktifitas, serangan panikku belumlah mereda. Ketakutan-ketakutanku akan penyakit masih setia menghantuiku, tapi membayangkan kunjungan ke dokter menimbulkan ketakutan yang lebih besar untukku.

Aku sempat frustrasi. Aku sudah melakukan hal-hal yang bisa kulakukan. Apalagi yang salah?

Di situ, aku memutuskan untuk menggunakan aplikasi mood tracker dan berkonsultasi lagi ke psikolog. Hasilnya sama: aku harus ke psikiater karena kondisiku membutuhkan obat. Haruskah?

Aku enggan, tapi aku terlanjur merasakan indahnya hidup ketika aku bisa produktif dan berkomunikasi dengan baik. Aku tak mau kehilangan momentum ini dan terjerumus kembali ke jurang yang sama. Lagi-lagi, adikku menjadi support system-ku. Aku butuh kekuatan. Aku ketikkan pesan kepadanya:

“Kondisi gue ini bisakah hilang tanpa obat? Apakah berpikiran positif, rajin beribadah, serta terapi diri sendiri bisa membantu menghilangkannya?”

Begini jawaban adikku, yang tak kusangka-sangka:

Screenshot_20200519_125759[297]

Butuh waktu beberapa bulan setelahnya untukku bisa menguatkan tekad dan kembali mendatangi psikiater. Namun begitu, aku bangga bahwa pada akhirnya, aku berani menghadapinya.

“Berbicara tentang masalah syarafmu ini sama seperti berbicara tentang patah tulang. Butuh waktu yang lama untuk bisa mengembalikan tulang dan syaraf yang telah rusak. Tapi kamu harus percaya bahwa kamu bisa sembuh. Mungkin butuh bulanan atau tahunan, tapi kamu bisa sembuh,” kata psikiaterku. Ia mewanti-wanti, bahwa aku tidak boleh berhenti berobat sembarangan. Takutnya, kondisiku mengalami penurunan. Hal yang sama pun dikatakan adikku, “Jangan berhenti sampai dokter lo bilang bahwa lo sudah bisa berhenti.”

Kali ini, jauh lebih mudah bagiku untuk menerima keadaanku. Aku sudah membekali diriku dengan pengetahuan mengenai apa yang kualami. Aku sudah belajar untuk tahu kapan dan pada siapa aku harus mendengarkan, serta mengabaikan apa yang harus kuabaikan. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus istiqomah. Demi diriku sendiri, dan demi orang-orang di sekitarku.

Hasilnya? Tentu tidak secepat itu. Namun hari-hariku betul-betul jauh lebih enteng. Dengan terbuka kepada psikiaterku tentang aktivitasku yang menggunung, kami bisa mendiskusikan dosis yang tepat untukku. Awalnya berat memang, tapi kini aku bisa mengerjakan tumpukan tugasku tanpa kecemasan. Tidurku tak lagi kurang dari enam jam, kerap terbangun, dan diselimuti mimpi buruk. Aku tiba-tiba bisa kembali aktif di media sosial. Membalasi pesan teman-temanku yang dulu kuabaikan. Menjalin kontak dengan orang-orang yang sudah lama tak kusapa. Bahwa selama hampir sebulan ini tidak kesulitan untuk menulis berbagai hal yang menjadi emotional baggage bagiku, bahwa kreatifitasku bisa kembali mengalir tanpa menemukan jalan buntu, adalah satu bukti nyata bagiku.

Semua bermula dari pesawat. Munculnya ketakutan pada tempat tinggi adalah manifestasi yang jelas dari gejala kecemasan, ujar psikologku dulu. Bukan kematian yang kutakutkan, tapi kehilangan kontrol yang mendorong rasa panikku. Aku tak lagi takut dengan eskalator dan elevator, walau gedung tinggi masih jadi tantangan bagiku. Tempo hari, aku melintasi jalan layang. Tanpa sadar aku bersorak, “I am on a flyover and I am no longer scared!”. Haha. Mungkin kalau ada yang lihat aku, dipikirnya aku gila.

Suatu hari nanti, kuharap aku bisa naik pesawat lagi dan pasrah pada kemana nasib ingin membawaku.

Sebelum aku menutup tulisan ini, aku ingin minta tolong pada teman-teman. Sedih melihat bahwa banyak orang kini melihat penyakit mental sebagai trend dan kartu pass untuk lari dari masalah. Jika kamu memang merasa ada gejala yang salah denganmu, carilah bantuan profesional. Bisa jadi yang kamu alami lebih dari sekadar gangguan kecemasan. Bisa jadi sembarang kata mengalir membuat penyintas jadi diremehkan.

Hai, semuanya. Ini bukan keren-kerenan. Buat sebagian orang, ini perkara kehidupan dan kematian. Dan aku harap, jika kamu mengalaminya, kamu bisa melaluinya dengan baik. Jika kamu adalah orang yang takut stigma, ingatlah, kebahagiaanmu jauh lebih penting. Mari membusungkan dada dengan mengatakan, “aku dulu pernah ada di sana, tapi aku kini telah melaluinya. Kamu pun pasti bisa.”

Atau, buat kamu yang mencari dukungan lewat media sosial karena lebih mudah menulis dan lebih sulit mencari teman di dunia nyata, aku hanya memintamu berhati-hati menyaring kata-kata yang masuk dalam notifikasimu. Ingat, tidak semua orang terpapar akan kesadaran pentingnya kesehatan mental. Ingat, senyumin aja. Aku tahu itu sakit rasanya. Tapi, ada juga orang-orang yang mendukungmu, fokuskan saja perhatianmu ke situ. Doakan saja orang yang merundung tidak akan pernah berada di posisimu sekarang.

Aku tak tahu apa yang kamu rasakan, apa yang kamu alami. Tapi yang aku tahu, pelan-pelan, masyarakat mulai terbuka. Yang aku tahu, untuk sembuh, perlu ada rasa percaya dan keinginan dari dalam.

Terakhir, yang ingin kukatakan di sini, jika ada di antara kamu yang butuh teman mengobrol karena masalah yang sama denganku, I am all ears (and eyes to read and hands to write back). Kirimkan aku pesan. Aku bukan tenaga profesional. Tapi, mungkin saja aku bisa jadi pendengar yang baik untuk menguatkanmu menemui mereka.


Comments

2 responses to “Semua bermula dari pesawat (catatan personal tentang depresi klinis dan gangguan kecemasan)”

  1. Anxiety Survivor Avatar
    Anxiety Survivor

    Halo Anggi,

    Aku gak sengaja nemu blog ini dan gak sengaja nemu tulisan ini. Aku kaget banget sama tulisan ini. Kita dulu pernah ketemu dan ngobrol di lapangan mungkin 5-6 tahun lalu.

    Makasih ya udah nulis artikel yang bagus ini. Makasih udah mau terbuka dan mau berbagi lewat tulisan ini. Makasih udah menerjemahkan pikiran dan perasaan kamu ke dalam tulisan ini. Makasih udah membuat pembaca tulisan ini tidak merasa sendirian ya Nggi.

    Semoga kita semua sebagai penyintas sehat selalu dan bisa melewati masa2 sulit ini.

    Salam.

    Like

    1. Hai, survivor. Sorry it took me three years to reply. Waktu baca komen ini pertama kali, aku sedih, menerka-nerka, dan bingung harus menjawab apa. Pada saat itu, butuh keberanian untuk aku menulis seterbuka itu dan mendapatkan respons dari orang yang merasakan hal yang sama membuatku merasa campur aduk. Aku tidak yakin kamu akan membaca balasan ini, tapi aku berharap masa sulit sudah berlalu buatmu. Atau, seperti di kasusku, sudah bisa mengelola dan menerimanya dengan lebih baik. Terima kasih banyak sudah membaca tulisanku dan menyampaikan apa yang kamu rasakan, karena pasti berat rasanya. Jika kamu membaca tulisan ini, perlu teman bicara atau sudah lebih santai dan terbuka, just hit me up. Semoga kamu sehat di sana.

      Like

Leave a reply to Anxiety Survivor Cancel reply